Rabu, 23 Juli 2014

Resume CHAPTER 10 : Cultur Typologies and Culture Surveys


Konsep baru menjadi bermanfaat jika mereka (1) membantu untuk memahami dan mengembangkan beberapa jalan keluar atas fenomena yang diamati, (2) membantu untuk menjelaskan apa yang menjadi struktur utama dalam fenomena dengan mengembangkan teori tentang bagaimana sesuatu bekerja, apa, mengatasi, (3) memungkinkan kita untuk memprediksi beberapa kadar bagaimana fenomena lain yang mungkin belum bisa dilihat tersebut dapat dilihat. Namun, dalam proses membangun kategori baru, kita mau tidak mau harus menjadi lebih abstrak. Selama kita mengembangkan abstraksi tersebut, hal itu mungkin menjadi seperti mengembangkan model, typologi, dan teori tentang bagaimana hal tersebut bekerja.
Keuntungan atas suatu typologi dan teori adalah menjadi patokan kita bahwa mereka mencoba menyusun beberapa variasi dari venomena yang berbeda. Kerugian dan bahaya adalah bahwa mereka begitu abstrak dimana mereka tidak cukup merefeksikan kenyataan dan memberikan seperangkat fenomena yang sedang diobservasi.

Typologi dan model yang kita gunakan dapat memberikan gambaran kita dalam melihat realita, dan hal ini dengan mudah seperti memahami sebuah pengalaman hidup. Akan berbahaya adaah ketika kita terbatas pada perhatian kita dalam menjangkau dan akan menjadi tanpa pertimbangan dengan menghormati apa yang sedang kita observasi.

Isu ketiga dalam menggunakan typologi memperikan fokus terhadap pertanyaan tentang bagaimana kita mencapai pada tingkat yang abstrak tersebut. Beberapa model budaya yang akan kita periksa mengumpulkan data dengan menanyakan kepada karyawan bagaimana mereka mempersepsikan organisasi mereka. Persepsi mereka tersebut kemudian dikumpulkan dan digabungkan kedalam lebih banyak konsep yang abstrak. Nilai final tersebut dapat menjadi ukuran yang reliabel atas persepsi karyawan dan indikator yang valid atas derajat tentang apa yang dipercaya karyawan terhadap organisasi mereka mempunyai strategi yang kuat atau lemah.



Problems in use of surveys
        1.            Not knowing what to ask. Jika kita mendefinisikan budaya sebagai mencakup keseluruhan dimensi internal dan internal, maka kita membutuhkan survey yang besar untuk melihat seluruh dimensi yang memungkinkan. Yang dimaksudkan adalah kita kita perlu mengetahui dasar pertanyaan yang akan kita cari tahu kemudian dimasukkan ke dalam survey.
        2.            Employees may not be motivated to be honest. Karyawan selalu mendukung untuk berterus terang dan jujur terhadap jawaban mereka, asalkan dengan jaminan bahwa jawaban mereka akan tetap dijaga dengan aman.
        3.            Employees may not understand the questions or interpret them differently.
        4.            What is measured may be accurate but superficial.
        5.            The sample of employees surveyed may not be representative of the key culture carriers.
        6.            The profile of dimension does not reveal their interaction or patterning into a total system.
        7.            The impact of taking the survey will have unknown consequences some of which may be undesirable or destructive. 

When to use surveys
Melakukan identifikasi pada beberapa permasalahan dengan survey seperti mengukur sebuah budaya dari bagian organisasi, hal tersebut, meskipun, waktu ketika curvey sangat berguna dan tepat.
  • Determining whether particular dimensions of culture are systematically related to some element of performance.
  • Giving a particular organization a profile of itself to stimulate a deeper analysis of the culture of that organization.
  • Comparing organizations to each orther on selected dimensions as preparation for mergers, acquisitions, and joint ventures.
  • Testing whether certain subcultures that we suspect to be present can be objectively differentiated and defined in terms of preselected dimensions that a survey can identify.
  • Educating employees about certain important dimensions that management wants to work on.

Typologies That Focus on Assumptions About Authority and Intimacy
Organisasi adalah hasil dari apa yang orang-orang lakukan bersama untuk sebuah tujuan bersama. Dasar dari sebuah hubungan antara individu dan apa yang organisasi dapatkan, oleh karena itu, dianggap sebagai dimensi budaya yang sangat mendasar di sekitar yang membuat sebuah typologi karena hal ini akan mengembangkan kategori kritis untuk menganalisis asumsi tentang kewenangan dan keakraban. Salah satu teori besar yaitu Etzioni`s (1975) perbedaan mendasar antara tiga tipe organisasi yang berlaku di setiap masyarakat:
1)      Coercive Organizations: individual pada dasarnya tergantung secara fisik atau alasan ekonomi dan harus, karena itu, mematuhi apapun aturan yang dikenakan oleh otoritas.
2)      Utilitarian Organization: individu menyediakan “a fair day`s work for a fair day`s pay” dan maka, berdiam atas apapun aturan yang perlukan untuk kinerja pada organisasi.
3)      Normative Organization: individu memberikan kontribusi atas komitmen mereka dan menerima otoritas yang berlaku karena tujuan dari organisasi secara mendasar sama dengan tujuan individu.

Typologies of Corporate Character and Culture
Typologies mencoba menangkap essensi budaya dalam organisasi yang pertama diungkapkan oleh Harrison (1979) dengan empat tipe dasar atas fokus utama mereka.
1)      Power oriented: organisasi didominasi oleh pendiri yang charismatic/autocratic
2)      Achievement oriented: organisasi yang didominasi oleh hasil kerja
3)      Role oriented: birokrasi masyarakat
4)      Support oriented: organisasi nonprofit atau organisasi keagamaan

Handy melihat hubungan antara type organisasi dan beberapa dewa utama dari yunani yang diwakili oleh :
  • Zeus: the club culture
  • Athena: the task culture
  • Apollo: the role culture
  • Dionysus: the existensial culture

Goffee dan Jones (1998) melihat karakter setara terhadap budaya dan menciptakan sebuah dasar typologi kedalam dua kunci dimensi: “Solidaritas” sebagai sebuah kecenderungan untuk menjadi rasa/pikiran suka, dan “sociability”-kecenderungan untuk menjadi lebih bersahabat dengan yang lain.
Goffee dan Jones menggunakan dimensi tersebut untuk identifikasi empat tipe atas budaya:
  • Fragmented: Low on both dimensions
  • Mercenary: High on solidarity, low on sociability
  • Communal: High on sociability, low on solidarity
  • Networker: High on both

Cameron dan Quinn (1999,2006) juga mengembangkan empat kategori tipologi dasar atas dua dimensi, namun dalam kasus mereka, dimensi tersebut lebih struktural- bagaimana keteguhan atau fleksibilitas organisasi dan bagaimana fokus secara eksternal dan internal. Dimensi tersebut dipandang secara terus menerus nilai bersaing:
  • Hierarchy: internal focus and stable; structured, well coordinated
  • Clan: internal focus dan flexible; collaborative, friendly, family like
  • Market: external focus and stable; competitive, result oriented
  • Adhocracy: external focus and flexible; innovative, dynamic, entrepreneurial

1 komentar:

Zaid Abdurrosyid mengatakan...

Sangat membantu dalam mencari referensi. Thx

Posting Komentar