Minggu, 18 Mei 2014

Influence of Leadership Competency and Organizational Culture on Responsiveness and Performance of Firms


Oleh : Susita Asree, Mohamed Zain, Mohd Rizal Razalli, 2009,
International Journal of Contemporary Hospitally Management


Topik Diskusi

Organisasi bidang jasa, seperti hotel yang diteliti dalam riset ini, harus menghubungkan dan menggabungkan strategi operasi mereka dengan strategi bisnisnya. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan nilai bagi pelanggannya dalam perusahaan lintas negara yang mempraktikkan proses organisasinya berdasarkan hasil.
Tujuan dari strategi operasi perusahaan adalah untuk menciptakan value bagi pelanggan seperti kualitas, harga dan waktu (Haksever et al., 2000). Untuk memiliki nilai-nilai ini, strategi operasi yang dimiliki perusahaan harus mempertimbangkan berbagai proses manajemen yang dijalankan dalam perusahaan. Apabila mereka gagal dalam menggabungkan strategi operasi dan bisnisnya, maka keunggulan kompetitif perusahaan dipertaruhkan (Dangayach and Deshmuck, 2001).
Praktik, berarti sebagai sistem yang dibangun dan perilaku dalam organisasi (morita & Flynn, 1997). Sedangkan Strategi adalah pola dalam aksi, bukan merupakan keputusan. Ada dua  pendekatan strategi operasional untuk kerangka pengembangan :
Ø      Berdasarkan Aksi (praktik)
Ø      Berdasarkan keputusan

Kinerja Organisasi
Konsep kinerja organisasi itu terkait dengan kelangsungan dan kesuksesan organisasi. Berbeda dengan perusahaan jenis lain yang bergerak untuk transaksi jangka pendek, perusahaan jasa harus berkonsentrasi dalam membangun hubungan dengan pelanggan, karena disitulah core businessnya, yang memastikan perusahaan tetap survive (Gronroos, 1992).

Leadership in Operational Practices
Leadership dijelaskan oleh Barrow (1977) sebagai proses perilaku yang mempengaruhi seseorang atau grup terhadap sebuah susunan goal. Sedangkan Zaccaro (2007) mendefinisikan tindakan pemimpin terkait pengambilan keputusan dalam sistem operasional. Ada empat klasifikasi orientasi yang disebutkan oleh Barrow (1977) :
1)      Leader behavior investigation
             Terkait tindakan aktual atau perilaku pemimpin terkait,
2)      Situational and reciprocal causations
             Mengamati perilaku faktor situasional pada perilaku leader dan sebab perilakunya saat berinteraksi dengan bawahan
3)      Leadership effectivenes theories
             Terkait dengan efektivitas gaya kepemimpinan tertentu dalam situasi yang tepat.
4)      Normative leadership approach
             Berarti tindakan efektif saat denga situasi yang ada.

Organizational Culture in Operations Practices
Hofstede (1997) mengartikan kultur organisasi sebagai program benak yang kolektif yang membedakan anggota member organisasi satu dengan yang lain. Sedangkan Deshpande dan Webster (1980) menyatakan bahwa kultur organisasi merupakan sebuah susunan nilai dan norma yang dijalankan orang-orang dalam organisasi. Secara sangat signifikan, kultur organisasi dinyatakan terkait dengan efektivitas organisasi jaza. Ada dua level dalam Kultur organisasi menurut Tefry (2006):
1)      Praktik dan Perilaku – bagaimana sesuatu diselesaikan
2)      Underlying practice – beliefs dan values
Literatur yang menghubungkan responsiveness dengan kultur organisasi diadaptasi dari penelitian Coughlan dan Harbinson (1988).

Organizational Responsiveness
Organizational Responsiveness diartikan Flynn dan Flynn (2004) sebagai kemampuan organisasi yang mengacu pada target dan rencana yang ingin dicapai. Kemampuan juha merefleksikan kemampuan strategis dari fungsi manajemen operasi, misalnya biaya, waktu, kualitas, dan fleksibilitas (Gaither dan Frazier, 2002).
Responsiveness dimasukkan sebagai keunggulan kompetitif karena mampu menggabungkan elemen-elemen goal seperti time, quality, dan fleksibilitas yang cocok dengan kartakteristik perusahaan jasa.



Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui strategi operasi perusahaan jasa yang dalam riset ini adalah organisasi berupa hotel untuk menentukan apakah praktik operasional mereka, yaitu kepemimpinan kompetensi dan budaya organisasi, akan mempengaruhi respon mereka pada karyawan dan pelanggan yang akhirnya berdampak pada kinerja mereka yang berupa peningkatan pendapatan.

Hipotesis 

Hipotesis 1 : Leadership competency berhubungan positif dengan level of responsiveness
Leadership diyakini sebagai kunci utama untuk mencapai performa prima (Prabhu et al., 2002) dimana peran leader sangatlah vital dalam mencapai kinerja tinggi, yang juga keunggulan kompetitif (Fahy, 2000).
Hipotesis 2 : Kultur Organisasi berhubungan secara positif dengan level of responsiveness
Hubungan antara faktor  dan kultur organisasi dan kinerja organisasi ditemukan oleh Coughlan dan Harbinson (1998). Untuk organisasi yang ingin efektif, kultur harus cocok dengan orientasi klien berupa responsiveness (Paulin et al., 1999).
Hipotesis 3 : Responsiveness Berhubungan positif dengan performance (revenue)
Responsiveness, yang juga merupakan quality, ditemukan berhubungan posistif dengan biaya, kinerja finansial, kepuasan pelanggan, mempertahankan pelanggan (Sureshchandar et al., 2002). Orientaisi pasar dari organisasi bisa memunculkan kinerja yang lebih baik dalam sales growth (Gray et al., 2000) yang berarti openingkatan revenue.

 










Metode
Metodologi riset ini menggunakan analisis data empiris yang menggunakan SEM dengan media kuesioner yang melibatkan 88 hotel di Malaysia dengan berbagai tingkat. Digunakan 5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1) hingga sangat setuju (5) untuk variabel independen (leadership dan budaya organisasi) dan variabel mediasi (responsiveness) yang disurvei dengan pertanyaan mengenai tiga praktik tersebut dalam hotel. Sedangkan variabel dependen digunakan 5 skala juga, dari menurun signifikan (1) hingga meningkat signifikan (5).

Jenis Variabel
Nama Variabel
Skala Pengukuran
Referensi
Independen
Leadership
Menggunakan 8 faktor leadership competency
5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1) hingga sangat setuju (5)
Chung-Herrera et al., (2003)
Organizational Culture
Menggunakan 3 item praktik budaya organisasi terkait responsiveness
5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1) hingga sangat setuju (5)
Coughlan and Harbinson (1998)
Mediasi
Responsiveness
Diukur dengan tiga konstruk : kecepatan, keragaman, dan kemauan
5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1) hingga sangat setuju (5)
Responsiveness Index (RI), Parasuraman et al (1988) dan Stalk and Hout (1990)
Dependen
Revenue Outcomes
Indikasi perubahan pendapatan hotel selama tiga tahun terakhir
5 skala, dari menurun signifikan (1) hingga meningkat signifikan (5)
Evans (2005)

Tingkat responsiveness diamati dari tiap terjadinya lima service encounter, yang merupakan suatu momen dimana pelanggan bertemu langsung dengan penyedia jasa. Lima service encounter yang biasanya terjadi saat di hotel yaitu :
1)      Sebelum check-in
2)      Saat check-in
3)      Setelah check-in
4)      Ketika check-out
5)      Setelah check-in
Untuk mengamati instrumen, digunakan analisis faktor, yang dipisahkan tiap proses encounter. Responden merupakan manajer hotel yang terdiri dari laki-laki (77,3%), perempuan (22,7%) dengan usia 36 – 45 tahun. Berdasarkan profil hotel, ada (6,8%) hotel bintang satu, (14,8%) hotel bintang dua, (31,8%) hotel bintang tiga, (26,1%) hotel bintang empat dan (20,5%) hotel bintang lima.

Hasil
Hasil menunjukkan bahwa kompetensi kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki hubungan positif dengan respon. Selain itu, respon memiliki hubungan positif dengan pendapatan hotel yang merupakan outcome kinerja hotel. Hasil ini menunjukkan bahwa kompetensi kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan faktor penting bagi hotel supaya lebih responsif terhadap para pelanggan.
 











Hipotesis
Keterangan
Hipotesis 1
Leadership competency berhubungan positif dengan level of responsiveness
Signifikan positif dengan nilai β=0,47 dan p<0,001
Hipotesis 2
Kultur Organisasi terkait positif pada level of responsiveness
Signifikan positif dengan nilai β=0,23 pada p<0,10
Hipotesis 3
Responsiveness Berhubungan positif pada performance (revenue)
Signifikan positif dengan nilai β=0,56 p<0,001

Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian, manajer hotel mengakui bahwa organisasi mereka telah melaksanakan praktik kepemimpinan yang baik. Selain itu, analisis SEM menunjukkan adanya hubungan positif antara kompetensi kepemimpinan dengan responsiveness. Hal ini juga didukung dengan penelitian sebelumnya oleh Coughlan dan Harbinson (1998), yang menemukan bahwa praktik kepemimpinan merupakan kunci pendorong dalam mencapai kinerja yang tinggi. Dalam konteks penelitian ini, kompetensi kepemimpinan yang baik seperti self-managing, strategic positioning knowledge, critical thinking, communication skill, interpersonal skill, leadership skill, dan industry knowledge and experience akan meningkatkan level of responsiveness hotel terhadap kebutuhan kastemer. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, konteks leadership di sini dipandang sebagai praktik pelayanan operasional, yang mempengaruhi kapabilitas kumulatif atau responsiveness perusahaan jasa.
Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai seperti, mendengarkan pegawai, memberikan reward dan rekognisi serta memperhatikan kesejahteraan pegawai. Hasil menunjukkan bahwa hotel sudah melaksanakan praktik budaya yang kondusif untuk pegawainya. Budaya organisasi juga berpengaruh secara signifikan positif terhadap responsiveness hotel. Hal ini didukung juga oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fang dan Wang (2006), yang menemukan bahwa “soft issues” seperti leadership dan kultur organisasi akan berpengaruh pada performa perusahaan jasa. Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan sebelumnya, yaitu bahwa konteks budaya organisasi di sini dilihat dari segi praktik budaya organisasi, sedangkan budaya yang diteliti oleh Fang dan Wang adalah konteks dimensi budaya (power distance, risk avoidance, individualism, dan masculinity).
Penemuan yang terakhir yaitu tentang kemampuan hotel yang tanggap / responsif terhadap kebutuhan kastemer akan meningkatkan pendapatan (revenue). Dengan kata lain, memberikan pelayanan yang cepat, beragam pelayanan dan bersikap baik kepada pelanggan akan memberikan keunggulan kompetitif bagi hotel.

Implikasi
Manajer hotel tidak hanya harus meningkatkan kompentensi kepemimpinannya, tetapi juga menanamkan kultur organisasi yang mendukung karyawannya. Praktik operasi yang demikian akan membuat hotel lebih tanggap mengenai kebutuhan pelanggan yang juga pasti mempengaruhi kinerja hotel menjadi lebih baik.
Dalam rangka meningkatan responsiveness hotel untuk memebuhi kebutuhan pelanggan, manajer hotel harus memposisikan kompetensi kepemimpinan sebaik-baiknya. Salah satunya dengan memingkatkan kemampuannya dalam berbagai bidang keahlian, misalnya strategic positioning, implementasi, pemikiran kritis, komunikasi, hubungan interpersonal, dll.
Selain itu, manajer hotel juga harus menanamkan kultur organisasi dengan mendengarkan staf mereka, memberikan rewards dan pengakuan terhadap performa para personel hotel. Selain itu juga peduli terhadap kesejahteraan bawahannya. Kemampuan itulah yang mampu meningkatkan tingkat responsivitas hotel dengan praktik yang mampu mendongkrak pendapatan hotel (Fang & Wang 2006).

Keterbatasan
Beberapa keterbatasan penelitian ini antara lain sifat cross-sectional, penggunaan pengukuran persepsi, dan tingkat respons yang rendah. Selain itu, penggunaan pengukuran tunggal hanya dengan persepsi subyektif, misalnya kenaikan atau penurunan pendapatan; dan tidak menggunakan pengukuran multipel untuk menilai kinerja hotel. Sehingga diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengatasi keterbatasan ini dan menjadi lebih sempurna lagi.


Hubungan antara Primary Jorrnal dengan Supporting Journals
1.      Service in Ireland : a comparative study of practice and performance, (Coughlan & Harbinson, 1998)
Coughlan dan Harbinson (1998) menemukan bahwa praktik kepemimpinan merupakan kunci pendorong dalam mencapai kinerja yang tinggi. Dalam konteks penelitian ini, kompetensi kepemimpinan yang baik seperti self-managing, strategic positioning knowledge, critical thinking, communication skill, interpersonal skill, leadership skill, dan industry knowledge and experience akan meningkatkan level of responsiveness hotel terhadap kebutuhan kastemer. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, konteks leadership di sini dipandang sebagai praktik pelayanan operasional, yang mempengaruhi kapabilitas kumulatif atau responsiveness perusahaan jasa.
2.      Effect of Organizational Culture and Learning on Manufacturing Strategy Selection : An Empirical Study (Fang & Wang, 2006), International Journal of  Management

Fang dan Wang (2006), menemukan bahwa “soft issues” seperti leadership dan kultur organisasi akan berpengaruh pada performa perusahaan jasa. Perbedaan penelitian ini dengan yang dilakukan sebelumnya, yaitu bahwa konteks budaya organisasi di sini dilihat dari segi praktik budaya organisasi, dimana temuan menunjukkan bahwa praktik budaya organisasi, seperti mendengarkan penuh perhatian kepada staf, memberikan penghargaan dan pengakuan atas kinerja mereka, dan mengurus kesejahteraan mereka, akan menyebabkan efek positif pada kemampuan sebuah hotel untuk menjadi  tanggap terhadap kebutuhan pelanggan mereka. Sedangkan budaya yang diteliti oleh Fang dan Wang adalah konteks dimensi budaya (power distance, risk avoidance, individualism, dan masculinity).

0 komentar:

Posting Komentar