Oleh : Susita Asree, Mohamed Zain, Mohd Rizal Razalli,
2009,
International
Journal of Contemporary Hospitally Management
Topik Diskusi
Organisasi bidang jasa, seperti hotel yang
diteliti dalam riset ini, harus menghubungkan dan menggabungkan strategi
operasi mereka dengan strategi bisnisnya. Hal ini perlu dilakukan untuk
menciptakan nilai bagi pelanggannya dalam perusahaan lintas negara yang
mempraktikkan proses organisasinya berdasarkan hasil.
Tujuan dari strategi operasi perusahaan
adalah untuk menciptakan value bagi pelanggan seperti kualitas, harga dan waktu
(Haksever et al., 2000). Untuk memiliki nilai-nilai ini, strategi operasi yang
dimiliki perusahaan harus mempertimbangkan berbagai proses manajemen yang
dijalankan dalam perusahaan. Apabila mereka gagal dalam menggabungkan strategi
operasi dan bisnisnya, maka keunggulan kompetitif perusahaan dipertaruhkan
(Dangayach and Deshmuck, 2001).
Praktik, berarti sebagai sistem yang
dibangun dan perilaku dalam organisasi (morita & Flynn, 1997). Sedangkan
Strategi adalah pola dalam aksi, bukan merupakan keputusan. Ada dua pendekatan strategi operasional untuk
kerangka pengembangan :
Ø
Berdasarkan
Aksi (praktik)
Ø
Berdasarkan
keputusan
Kinerja Organisasi
Konsep kinerja organisasi itu terkait
dengan kelangsungan dan kesuksesan organisasi. Berbeda dengan perusahaan jenis
lain yang bergerak untuk transaksi jangka pendek, perusahaan jasa harus
berkonsentrasi dalam membangun hubungan dengan pelanggan, karena disitulah core
businessnya, yang memastikan perusahaan tetap survive (Gronroos, 1992).
Leadership in Operational Practices
Leadership dijelaskan oleh Barrow (1977)
sebagai proses perilaku yang mempengaruhi seseorang atau grup terhadap sebuah
susunan goal. Sedangkan Zaccaro (2007) mendefinisikan tindakan pemimpin terkait
pengambilan keputusan dalam sistem operasional. Ada empat klasifikasi orientasi
yang disebutkan oleh Barrow (1977) :
1) Leader behavior investigation
Terkait tindakan aktual
atau perilaku pemimpin terkait,
2) Situational and reciprocal causations
Mengamati perilaku faktor
situasional pada perilaku leader dan sebab perilakunya saat berinteraksi dengan
bawahan
3) Leadership effectivenes theories
Terkait dengan
efektivitas gaya kepemimpinan tertentu dalam situasi yang tepat.
4) Normative leadership approach
Berarti tindakan efektif
saat denga situasi yang ada.
Organizational
Culture in Operations Practices
Hofstede (1997) mengartikan kultur
organisasi sebagai program benak yang kolektif yang membedakan anggota member
organisasi satu dengan yang lain. Sedangkan Deshpande dan Webster (1980)
menyatakan bahwa kultur organisasi merupakan sebuah susunan nilai dan norma
yang dijalankan orang-orang dalam organisasi. Secara sangat signifikan, kultur
organisasi dinyatakan terkait dengan efektivitas organisasi jaza. Ada dua level
dalam Kultur organisasi menurut Tefry (2006):
1) Praktik dan Perilaku – bagaimana sesuatu
diselesaikan
2) Underlying practice – beliefs dan values
Literatur yang menghubungkan
responsiveness dengan kultur organisasi diadaptasi dari penelitian Coughlan dan
Harbinson (1988).
Organizational
Responsiveness
Organizational Responsiveness diartikan
Flynn dan Flynn (2004) sebagai kemampuan organisasi yang mengacu pada target
dan rencana yang ingin dicapai. Kemampuan juha merefleksikan kemampuan strategis
dari fungsi manajemen operasi, misalnya biaya, waktu, kualitas, dan
fleksibilitas (Gaither dan Frazier, 2002).
Responsiveness dimasukkan sebagai
keunggulan kompetitif karena mampu menggabungkan elemen-elemen goal seperti
time, quality, dan fleksibilitas yang cocok dengan kartakteristik perusahaan
jasa.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui
strategi operasi perusahaan jasa yang dalam riset ini adalah organisasi berupa
hotel untuk menentukan apakah praktik operasional mereka, yaitu kepemimpinan
kompetensi dan budaya organisasi, akan mempengaruhi respon mereka pada karyawan
dan pelanggan yang akhirnya berdampak pada kinerja mereka yang berupa
peningkatan pendapatan.
Hipotesis
Hipotesis 1 : Leadership competency
berhubungan positif dengan level of
responsiveness
Leadership diyakini sebagai
kunci utama untuk mencapai performa prima (Prabhu et al., 2002) dimana peran
leader sangatlah vital dalam mencapai kinerja tinggi, yang juga keunggulan
kompetitif (Fahy, 2000).
Hipotesis 2 : Kultur Organisasi berhubungan secara positif dengan level of responsiveness
Hubungan antara faktor dan kultur organisasi dan kinerja organisasi
ditemukan oleh Coughlan dan Harbinson (1998). Untuk organisasi yang ingin
efektif, kultur harus cocok dengan orientasi klien berupa responsiveness
(Paulin et al., 1999).
Hipotesis 3 : Responsiveness
Berhubungan positif dengan performance
(revenue)
Responsiveness, yang juga
merupakan quality, ditemukan berhubungan posistif dengan biaya, kinerja
finansial, kepuasan pelanggan, mempertahankan pelanggan (Sureshchandar et al.,
2002). Orientaisi pasar dari organisasi bisa memunculkan kinerja yang lebih
baik dalam sales growth (Gray et al., 2000) yang berarti openingkatan revenue.
Metode
Metodologi riset ini menggunakan analisis data
empiris yang menggunakan SEM dengan media kuesioner yang melibatkan 88 hotel di
Malaysia dengan berbagai tingkat. Digunakan 5 Skala Likert dari sangat tidak
setuju (1) hingga sangat setuju (5) untuk variabel independen (leadership dan
budaya organisasi) dan variabel mediasi (responsiveness) yang disurvei dengan
pertanyaan mengenai tiga praktik tersebut dalam hotel. Sedangkan variabel
dependen digunakan 5 skala juga, dari menurun signifikan (1) hingga meningkat
signifikan (5).
Jenis Variabel
|
Nama Variabel
|
Skala Pengukuran
|
Referensi
|
Independen
|
Leadership
|
Menggunakan 8 faktor leadership competency
5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1)
hingga sangat setuju (5)
|
Chung-Herrera et al., (2003)
|
Organizational Culture
|
Menggunakan 3 item praktik budaya organisasi
terkait responsiveness
5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1)
hingga sangat setuju (5)
|
Coughlan and Harbinson (1998)
|
Mediasi
|
Responsiveness
|
Diukur dengan tiga konstruk : kecepatan,
keragaman, dan kemauan
5 Skala Likert dari sangat tidak setuju (1)
hingga sangat setuju (5)
|
Responsiveness Index (RI), Parasuraman et al
(1988) dan Stalk and Hout (1990)
|
Dependen
|
Revenue Outcomes
|
Indikasi perubahan pendapatan hotel selama
tiga tahun terakhir
5 skala, dari menurun signifikan (1) hingga
meningkat signifikan (5)
|
Evans (2005)
|
Tingkat responsiveness diamati dari tiap
terjadinya lima service encounter, yang merupakan suatu momen dimana pelanggan
bertemu langsung dengan penyedia jasa. Lima service encounter yang biasanya
terjadi saat di hotel yaitu :
1)
Sebelum check-in
2)
Saat check-in
3)
Setelah check-in
4)
Ketika check-out
5)
Setelah check-in
Untuk mengamati instrumen, digunakan analisis faktor, yang
dipisahkan tiap proses encounter. Responden merupakan manajer hotel yang terdiri dari laki-laki (77,3%),
perempuan (22,7%) dengan usia 36 – 45 tahun. Berdasarkan profil hotel, ada (6,8%)
hotel bintang satu, (14,8%) hotel bintang dua, (31,8%) hotel bintang tiga, (26,1%)
hotel bintang empat dan (20,5%) hotel bintang lima.
Hasil
Hasil menunjukkan bahwa kompetensi
kepemimpinan dan budaya organisasi memiliki hubungan positif dengan respon.
Selain itu, respon memiliki hubungan positif dengan pendapatan hotel yang
merupakan outcome kinerja hotel. Hasil ini menunjukkan bahwa kompetensi
kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan faktor penting bagi hotel supaya
lebih responsif terhadap para pelanggan.
|
Hipotesis
|
Keterangan
|
Hipotesis 1
|
Leadership competency berhubungan positif dengan level of responsiveness
|
Signifikan positif dengan nilai β=0,47 dan
p<0,001
|
Hipotesis 2
|
Kultur Organisasi terkait positif pada level of responsiveness
|
Signifikan positif dengan nilai β=0,23
pada p<0,10
|
Hipotesis 3
|
Responsiveness Berhubungan positif pada
performance (revenue)
|
Signifikan positif dengan nilai β=0,56
p<0,001
|
Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian, manajer hotel
mengakui bahwa organisasi mereka telah melaksanakan praktik kepemimpinan yang
baik. Selain itu, analisis SEM menunjukkan adanya hubungan positif antara
kompetensi kepemimpinan dengan responsiveness. Hal ini juga didukung dengan
penelitian sebelumnya oleh Coughlan dan Harbinson (1998), yang menemukan bahwa
praktik kepemimpinan merupakan kunci pendorong dalam mencapai kinerja yang
tinggi. Dalam konteks penelitian ini, kompetensi kepemimpinan yang baik seperti
self-managing, strategic positioning
knowledge, critical thinking, communication skill, interpersonal skill,
leadership skill, dan industry
knowledge and experience akan meningkatkan level of responsiveness hotel terhadap kebutuhan kastemer. Adapun
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, konteks leadership
di sini dipandang sebagai praktik pelayanan operasional, yang mempengaruhi
kapabilitas kumulatif atau responsiveness
perusahaan jasa.
Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai
seperti, mendengarkan pegawai, memberikan reward dan rekognisi serta
memperhatikan kesejahteraan pegawai. Hasil menunjukkan bahwa hotel sudah
melaksanakan praktik budaya yang kondusif untuk pegawainya. Budaya organisasi
juga berpengaruh secara signifikan positif terhadap responsiveness hotel. Hal
ini didukung juga oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fang dan Wang
(2006), yang menemukan bahwa “soft issues” seperti leadership dan kultur
organisasi akan berpengaruh pada performa perusahaan jasa. Perbedaan penelitian
ini dengan yang dilakukan sebelumnya, yaitu bahwa konteks budaya organisasi di
sini dilihat dari segi praktik budaya organisasi, sedangkan budaya yang
diteliti oleh Fang dan Wang adalah konteks dimensi budaya (power distance, risk avoidance, individualism, dan masculinity).
Penemuan yang terakhir yaitu tentang kemampuan
hotel yang tanggap / responsif terhadap kebutuhan kastemer akan meningkatkan
pendapatan (revenue). Dengan kata
lain, memberikan pelayanan yang cepat, beragam pelayanan dan bersikap baik
kepada pelanggan akan memberikan keunggulan kompetitif bagi hotel.
Implikasi
Manajer hotel tidak hanya harus meningkatkan kompentensi
kepemimpinannya, tetapi juga menanamkan kultur organisasi yang mendukung
karyawannya. Praktik operasi yang demikian akan membuat hotel lebih tanggap
mengenai kebutuhan pelanggan yang juga pasti mempengaruhi kinerja hotel menjadi lebih baik.
Dalam rangka meningkatan responsiveness hotel untuk memebuhi
kebutuhan pelanggan, manajer hotel harus memposisikan kompetensi kepemimpinan
sebaik-baiknya. Salah satunya dengan memingkatkan kemampuannya dalam berbagai
bidang keahlian, misalnya strategic positioning, implementasi, pemikiran
kritis, komunikasi, hubungan interpersonal, dll.
Selain itu, manajer hotel juga harus menanamkan kultur organisasi
dengan mendengarkan staf mereka, memberikan rewards dan pengakuan terhadap
performa para personel hotel. Selain itu juga peduli terhadap kesejahteraan
bawahannya. Kemampuan itulah yang mampu meningkatkan tingkat responsivitas
hotel dengan praktik yang mampu mendongkrak pendapatan hotel (Fang & Wang
2006).
Keterbatasan
Beberapa keterbatasan
penelitian ini antara lain sifat cross-sectional, penggunaan pengukuran
persepsi, dan tingkat respons yang rendah. Selain itu, penggunaan pengukuran
tunggal hanya dengan persepsi subyektif, misalnya kenaikan atau penurunan
pendapatan; dan tidak menggunakan pengukuran multipel untuk menilai kinerja
hotel. Sehingga diharapkan penelitian selanjutnya dapat mengatasi keterbatasan
ini dan menjadi lebih sempurna lagi.
Hubungan antara Primary Jorrnal dengan
Supporting Journals
1. Service in Ireland : a comparative study
of practice and performance, (Coughlan & Harbinson, 1998)
Coughlan dan Harbinson (1998) menemukan
bahwa praktik kepemimpinan merupakan kunci pendorong dalam mencapai kinerja
yang tinggi. Dalam konteks penelitian ini, kompetensi kepemimpinan yang baik
seperti self-managing, strategic
positioning knowledge, critical thinking, communication skill, interpersonal
skill, leadership skill, dan industry
knowledge and experience akan meningkatkan level of responsiveness hotel terhadap kebutuhan kastemer. Adapun
perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, konteks leadership
di sini dipandang sebagai praktik pelayanan operasional, yang mempengaruhi
kapabilitas kumulatif atau responsiveness
perusahaan jasa.
2. Effect of Organizational Culture and
Learning on Manufacturing Strategy Selection : An Empirical Study (Fang &
Wang, 2006), International Journal of
Management
Fang dan Wang (2006), menemukan bahwa “soft issues” seperti leadership dan
kultur organisasi akan berpengaruh pada performa perusahaan jasa. Perbedaan
penelitian ini dengan yang dilakukan sebelumnya, yaitu bahwa konteks budaya
organisasi di sini dilihat dari segi praktik budaya organisasi, dimana temuan
menunjukkan bahwa praktik budaya organisasi, seperti mendengarkan penuh
perhatian kepada staf, memberikan penghargaan dan pengakuan atas kinerja
mereka, dan mengurus kesejahteraan mereka, akan menyebabkan efek positif pada
kemampuan sebuah hotel untuk menjadi
tanggap terhadap kebutuhan pelanggan mereka. Sedangkan budaya yang
diteliti oleh Fang dan Wang adalah konteks dimensi budaya (power distance, risk avoidance, individualism, dan masculinity).
0 komentar:
Posting Komentar