BAB 12
HOW CULTURE EMERGES IN NEW GROUP
Aturan tatanan sosial yang mendominasi interaksi setiap hari adalah fondasi budaya. Kekuatan dan stabilitas budaya berasal
dari fakta bahwa hal tersebut merupakan dasar dari sebuah kelompok dan individu akan berpegang pada asumsi dasar
tertentu untuk mengesahkan keanggotaannya dalam
kelompok.
Group Formation Through Originating
and Marker Events
Pembentukan sebuah
kelompok dimulai dari salah satu jenis peristiwa berikut :
1.
Kecelakaan lingkungan (misalnya,
ancaman mendadak yang terjadi dalam kerumunan acak dan membutuhkan sebuah respon umum).
2.
Sebuah
keputusan oleh penggagas untuk membentuk sekelompok orang secara bersama-sama untuk tujuan yang sama, atau
3.
Sebuah peristiwa yang diiklankan atau pengalaman umum yang menarik
sejumlah individu.
Kelompok pelatihan human relations dimulai dari peristiwa ketiga yaitu sejumlah orang datang bersama-sama secara sukarela untuk berpartisipasi dalam kegiatan lokakarya selama 1 – 2 minggu yang betujuan untuk belajar lebih banyak tentang diri mereka sendiri, kelompok, dan kepemimpinan (Bradford, Gibb & Benne,
1964 ; Schein &
Bennis, 1965, Schein,
1993). Lokakarya ini biasanya diadakan di sebuah lokasi terpencil secara geografis, terisolasi dan memerlukan partisipasi penuh – yang disebut “pulau budaya (cultural
islands)”.
Sebuah kelompok biasanya mengembangkan mikrokultur berbeda
dalam hitungan hari. Ketika pertama kali kelompok terbentuk, masalah yang paling mendasar adalah tentang
alasan untuk berada dalam kelompok, tugas, dan isu-isu terkait kelangsungan hidup sosial mendasar yang
dihadapi oleh setiap individu, seperti: keanggotaan, peran, kebutuhan dan tingkat keakraban.Ini adalah mikrokosmos dari isu sentral
identitas, kewenangan dan keakraban.
How Individual Intentions Become Group
Consequences
Sebuah
misi kelompok dapat berkembang hanya jika anggota kelompok benar-benar memahami kebutuhan masing-masing, tujuan,
bakat dan nilai-nilai, dan ketika mereka mulai mengintegrasikan hal tersebut
menjadi sebuah misi bersama, menentukan otoritas/ kewenangan mereka sendiri dan sistem keakraban.
Meskipun semua anggota kelompok berasal macroculture yang sama dan memiliki bahasa formal
yang sama, semua orang menyadari bahwa sebuah kelompok merupakan kombinasi unik dari berbagai kepribadian dan
bahwa kepribadian mereka pada awalnya tidak diketahui.
Ketika proses pembentukan kelompok berlanjut, seringkali hal
pertama yang dikatakan atau
disarankan oleh setiap orang dalam kelompok menjadi penanda berikutnya apalagi jika saran tersebut dapat berhasil
mengurangi ketegangan dalam kelompok. Saran tersebut akan diambil oleh
kelompok dan dapat menjadi pola awal. Tetapi jika saran tersebut tidak berhasil dalam mengurangi beberapa ketegangan, hal itu akan menimbulkan perselisihan, kontra-saran, atau beberapa respon lain yang akan membuat anggota menyadari bahwa mereka tidak dapat dengan mudah setuju. Apapun respon, peristiwa krusial dalam pembentukan kelompok telah terjadi ketika anggota kelompok mulai berbagi reaksi emosional.
Tindakan yang paling mendasar dari pembentukan budaya, yang mendefinisikan batas-batas kelompok telah muncul dengan adanya respon emosional bersama ini.
Building Meaning Through Sharing
Perceptions and Articulating Feeling
Awalnya, pengelompokan hanya merupakan media emosional yang memungkinkan mendefinisikan siapa yang masuk dan siapa yang tidak masuk dalam kelompok. Untuk sebuah kelompok dapat mulai memahami arti dari pengelompokan, seseorang harus mengartikulasikan pengalaman yang telah terjadi dan apa artinya. Beberapa pengalaman terdalam dan paling potensial terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan kelompok, sehingga tingkat terdalam dari konsensus tentang siapa kita, apa misi kita, dan bagaimana kelompok bekerja terbentuk sangat awal dalam sejarah kelompok.
Leadership as Timely intervention
Melalui
proses pemahaman dan artikulasi, para anggota kelompok belajar tentang
bagaimana sistem sosial kerja dan kepemimpinan. Misi kelompok mulai dipahami sebagai wawasan bersama bahwa pembelajaran terjadi
melalui proses berbagi refleksi pada tindakan apapun yang terjadi. Asumsi yang
mendasari yang dibawa anggota dalam kelompok
disekitar isu-isu keakraban dan otoritas harus dihadapi dan ditangani, jika
kelompok ini ingin maju dalam hal mampu mengerjakan tugas bersama.
The Process of Group Formation :
1. Stage 1
: Dealing with Assumption About Authority
Kelompok mendasarkan pada asumsi bawah sadar bahwa “Pemimpin tahu apa yang harus kita lakukan”. Salah
satu cara untuk berurusan dengan otoritas adalah dengan menekan agresi seseorang, menerima ketergantungan dan mencari bimbingan. Dalam
kehidupan awal, kelompok tidak dapat dengan mudah menemukan konsensus tentang apa yang harus dilakukan. Norma terbentuk ketika
individu mengambil posisi, dan angota kelompok yang lain sepakat dengan posisi itu, baik dengan membiarkannya (dengan tetap diam), dengan secara aktif menyetujui, dengan memproses, atau menolaknya.
Tiga set konsekuensi yang selalu diamati:
1.
Konsekuensi pribadi untuk anggota yang
membuat saran (dia dapat memperoleh
atau kehilangan pengaruh, mengungkapkan dirinya kepada orang lain, mengembangkan pertemanan atau musuh, dan sebagainya)
2.
Konsekuensi antarpribadi bagi para anggota segera setelah terlibat dalam interaksi tersebut
3.
Konsekuensi normatif untuk kelompok secara keseluruhan
Bagaimana kelompok dan pemimpin menangani peristiwa emosional yang mengancam dan menentukan, akan menjadi norma-norma disekitar otoritas yang akan berlaku di masa depan.
2. Stage 2
: Building Norms Around Intimacy
Ketika
kelompok dapat memecahkan masalah terkait otoritas/kewenangan, mulai berbagi kepemimpinan dan menyelesaikan beberapa tugas dengan sukses, dimulailah asumsi bawah sadar bahwa “Kita adalah kelompok terbaik, dan kita semua saling menyukai,
dan kita dapat melakukan hal-hal besar bersama-sama. Fokus emosional ada pada harmoni, kesesuaian dan pencarian keakraban. Perbedaan diantara anggota kelompok tidak
dinilai.
Turquet (1973) menggunakan istilah fusi (fusion) untuk mencerminkan kebutuhan emosional yang kuat untuk merasa bergabung dengan kelompok dan menyangkal perbedaan internal. Pada tahap ini, intervensi yang dapat mengganggu kelompok diabaikan. Kekuatan asumsi fusi akan menjadi fungsi dari kebutuhan individu anggota kelompok dan pengalaman aktual kelompok.
Asumsi fusi tidak akan berhenti hingga beberapa
peristiwa penanda (marker events) membawa kekeliruan ke dalam kesadaran. Ada empat kegiatan kelompok yang memiliki
potensi untuk mengungkapkan asumsi:
1.
Ketidaksepakatan dan konflik akan terjadi dalam upaya untuk mengambil aksi bersama.
2.
Terlihat menghindari konfrontasi.
3.
Penyangkalan terang-terangan terhadap fakta bahwa beberapa anggota mungkin tidak saling menyukai.
4.
Letusan dari perasaan negatif terhadap anggota lainnya.
Apa
yang disebut Bion (1959) sebagai pasangan (pairing) juga umum pada tahap ini
karena kebutuhan akan cinta dan keakraban yang berlangsung dapat dengan mudah diproyeksikan ke para anggota untuk menampilkan perasaan tersebut terang-terangan. Dengan memproyeksikan keyakinan kelompok ke dalam "pasangan" dengan berharap untuk solusi ajaib melalui apa pasangan akan menghasilkan, kelompok dapat mempertahankan arti solidaritas. Semua
kelompok mengembangkan norma yang cukup stabil yang secara kolektif bisa diberi label mikrokultur
Banyak organisasi terjebak pada tingkat evolusi kelompok ini, mengembangkan sistem kewenangan yang memadai dan kapasitas untuk membela diri terhadap ancaman dari luar tetapi tidak pernah tumbuh secara internal ke titik diferensiasi peran dan klarifikasi hubungan pribadi.
Which
Norms Survive? The Role of Experience and Learning
Bagaimana norma dibangun dan diperkuat dalam asumsi yang akhirnya digunakan oleh kelompok? Dua mekanisme dasar dari pembelajaran yang terlibat adalah:
- Pemecahan masalah secara positif untuk
mengatasi masalah kelangsungan
hidup eksternal.
- Penghindaran kecemasan untuk mengatasi isu-isu integrasi internal.
Pada beberapa
kelompok, tingkat kenyamanan yang
lebih besar mungkin dapat dicapai dengan norma-norma yang
pada dasarnya menegaskan kembali otoritas pemimpin dan membuat anggota lebih bergantung
pada pemimpin dan kurang akrab satu sama lain. Kebutuhan akan pemimpin juga berperan dalam proses ini, sehingga keputusan terakhir - apa yang membuat orang yang paling nyaman - akan menjadi seperangkat norma yang memenuhi banyak kebutuhan
internal maupun pengalaman eksternal.
Norma-norma yang
menghasilkan keberhasilan
terbesar akan bertahan. Dan budaya kelompok yang
dihasilkan biasanya akan menjadi unik
dan khas.
3. Stage 3
: Group Work and Functional Familiarity
Jika kelompok berhasil menghadai asumsi fusi, biasanya mencapai suatu keadaan emosional yang paling dapat dicirikan sebagai saling menerima (mutual acceptance). Kelompok ini akan memiliki cukup pengalaman sehingga anggota tidak hanya tahu apa yang diharapkan dari satu sama lain - apa yang bisa kita pikirkan sebagai keakraban fungsional - tetapi juga akan memiliki kesempatan untuk belajar bahwa mereka dapat hidup berdampingan dan bekerja sama, bahkan jika mereka tidak semuanya saling menyukai.
Pergeseran emosional dari memelihara ilusi saling suka dengan keadaan saling menerima dan keakraban fungsional penting dalam membebaskan energi emosional
untuk bekerja.
Pada tahap ini, asumsi implisit baru muncul, asumsi kerja - kita saling mengenal cukup baik, baik dalam hal yang
positif dan negatif, bahwa kita dapat bekerja sama dengan baik
dan mencapai tujuan eksternal. Kelompok ini sekarang mengerahkan sedikit tekanan untuk menyesuaikan
diri dan membangun norma-norma yang mendorong beberapa ukuran individualitas dan pertumbuhan pribadi, pada asumsi bahwa kelompok akhirnya akan menguntungkan jika semua anggota tumbuh dan menjadi lebih kuat.
4. Stage 4
: Group Maturity
Jika sebuah
kelompok bekerja dengan sukses, maka secara tak terelakkan akan memperkuat asumsi
tentang dirinya dan lingkungannya, sehingga memperkuat budaya apa pun telah
berkembang. Karena budaya adalah seperangkat pembelajaran
dari respon, budaya akan
sekuat sejarah pembelajaran kelompok yang telah berhasil dilakukan. Semakin banyak kelompok telah berbagi pengalaman emosional yang
intens, akan semakin
kuat budaya kelompok. Dilema yang tak terelakkan bagi kelompok kemudian, adalah bagaimana untuk
menghindari kelompok menjadi
sangat stabil dalam pendekatannya terhadap lingkungannya, sehingga kehilangan kemampuannya untuk beradaptasi,
berinovasi dan berkembang.
0 komentar:
Posting Komentar