Kamis, 20 Maret 2014

SOLUSI PERBANKAN SYARIAH UNTUK MORAL HAZARD DALAM KRISIS FINANSIAL

TUGAS UAS
MAKRO EKONOMI


Amerika, sebuah negara adidaya yang perekonomiannya begitu kuat, akhirnya ambruk juga. Krisis finansial di Amerika yang hingga kini merayap bangkit, belum sepenuhnya sembuh. Efek terpuruknya ekonomi negara Paman Sam itu berimbas pada perekonomian dunia. Bursa Efek Indonesia sempat ditutup selama dua hari karena kekhawatiran akan turut jatuhnya pasar saham Indonesia. Krisis ekonomi pun merambat ke benua Eropa, hingga yang paling terpuruk adalah Yunani yang bangkrut beserta segala macam konflik politik yang terjadi di negara seribu dewa.
Dari lini domestik, keruntuhan ekonomi terbesar dunia itu disebabkan berbagai macam hal, mulai dari sektor mikro maupun makro. Dari sektor masyarakatnya, pola hidup mereka cenderung konsumtif, yang lebih sering menggunakan kredit. Saat terjadi gagal bayar, hal ini berimbas pada perusahaan. Kredit tidak terjadi di kehidupan sehari-hari, tapi juga terjadi di pembelian barang yang bersifat high involvement, seperti rumah tinggal.
Gambar 3. Ilustrasi Subprime Mortgage Credit

Kredit inilah yang dijadikan sebab awal utama yang mengakibatkan perekonomian negara itu runtuh. Masalah subprime mortgage berupa pemberian kredit sektor perumahan yang kurang memperhatikan kualitas kreditor, kemudian memicu terjadinya gagal bayar. Subprime mortgage sebenarnya hanya mencakup lingkung yang tidak terlalu besar. Permasalahan derivatif yang dilakukan di sektor uang yang lebih bermasalah.
Dari permasalahan kredit yang melanda konsumen, di sektor perbankan juga mengalami masalah. Perbankan melakukan berbagai permainan di pasar uang yang sangat beresiko. Perbankan dapat memasuki sektor perdagangan atau ekspor impor asal dikemas dalam produk derivatif yang berkaitan dengan keuangan perbankan, maka semua operasi perbankan dianggap legal. Padahal tidak ada sektor yang tidak terkait dengan uang. Akhirnya semua sektor bisa dimasuki perbankan. Sektor mana yang paling menguntungkan maka perbankan akan lebih cenderung mengikuti arah.
Liberalisasi yang terjadi di Amerika hanya memperhatikan para pemilik perbankan dan pemilik uang. Perbankan membuat berbagai macam produk layanan di luar simpan dan pinjam, mulai dari commercial papers, mortgage-backed securities, short selling, hedging, over the counter, credit default swaps, equity swaps, interest swaps, margin trading, futures, forward, option, asuransi perbankan dan lain sebagainya. Tentunya setiap bank memiliki produk layanan yang berbeda-beda. Produk-produk baru yang berbagai tipe model pelayanan ini disebut derivatif.
Terjadi penggelembungan dana di pasar derivatif mencapai berkali-kali dari nilai riilnya. Aslinya hanya satu bagian, empat bagian lainnya hanyalah angka penggelembungan para broker, dan banker. Penggelembungan ini terjadi di berbagai sektor, karena benar-benar menguntungkan, namun hanya untuk pihak-pihak tertentu. Aktivitas pencarian keuntungan hingga taraf yang tidak rasional ini masih dianggap legal di Amerika karena peraturan yang ada tidak melarangnya.
Liberalisasi Amerika perdagangan tidak membatasi perbankan untuk fokus pada bidang perbankan saja. Lemahnya aturan tentang kegiatan bisnis perbankan sekarang menjadi perhatian utama pemerintah Amerika. Penggelembungan ini terjadi dimana-mana yang merambah menjadi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para pelaku di pasar saham di sektor finansial. Aksi penyimpangan yang terjadi di kegiatan finasial ini dapat dikategorikan Moral Hazard.


Problem Moral Hazard

Menurut Prescott (2009), sebagai contoh dalam problem moral hazard, agen bekerja pada proyek yang diberikan oleh atasan atau bahkan pengembang. Banyaknya performa yang dilakukan agen berefek pada probabilitas distribusi return proyek. Masalahnya adalah atasan pengembang rtidak dapat memonitor kinerja agen. Sehingga upaya agen menjadi informasi privat yang dia simpan sendiri, dimana hanya dia yang mengetahuinya. Dalam beberapa model, jumlah upaya agen tidak terobservasi karena sulit diukur. Apabila pengembang gagal untuk mengobservasi aksi dan usaha agen,  moral hazard akan sangat mudah terjadi (Forte dan Brandão , 2007).

Model moral hazard secara normal dikembangkan sehingga diketahui konflik antara agen dan pengembang diantara aksi yang seharusnya diambil agen. Untuk contoh, agen mungkin akan memilih aksi dengan upaya tinggi untuk meningkatkan ekspektasi output dari proyek. Konflik internal ini bisa tidak menjadi moral hazard bila dikombinasi dengan informasi privat dalam aksi agen (Myerson, 1982).

Ketidaksimetrisan informasi yang terjadi diantara kedua-belah pihak memicu adanya gap informasi. Salah satu pihak menyimpan informasinya sendiri, sedangkan pihak lain tidak memiliki informasi tersebut atau bahkan memiliki informasi lain yang tidak dimiliki pihak sebelumnya. Hal ini akan memicu terjadinya moral hazard berupa penyelewengan dan tindakan menguntungkan diri sendiri yang bahkan dapat merugikan pihak lain, apabila pihak yang memiliki informasi tidak membagi informasi yang dimilikinya untuk dijadikan diskusi bersama merencanakan strategi perusahaan kedepan.
Gambar. 2. Ilustrasi Moral Hazard

Moral hazard, sebenarnya merupakan perhatian jangka panjang dalam industri asuransi, dimana peningkatannya telah dikenali sebagai konsekuensi regulasi perbankan dan industri finansial lain (Prescott, 1999). Kasus ini terjadi dalam regulasi bank, dimana aksi pengembalian resiko dari investasi bank, dan output pengembalian bank. Analisis mengenai moral hazard memainkan peran penting dalam teori regulasi bank dan regulasi finansial.
Moral hazard juga merupakan problem dimana institusi finansial memiliki insentif untuk mengambil berlebih meski tidak tercover asuransi karena institusinya merasa akan di-bail out meskipun terjadi kegagalan (Prescott, 1999). Moral hazard meningkat karena manajer dapat mengambil resiko tanpa membayar resiko premium yuang lebih besar (Herring, 2010). Para pelaku ini mengambil berbagai resiko yang sudah berada dalam taraf tidak rasional tanpa memperhatikan dampak akhirnya. Herring (2010), juga menyatakan Pemikiran mengenai pemerintah akan selalu mampu menanggung segala resiko yang dialami dengan memberikan bantuan maupun bail out. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Selama perilaku penggiringan diantara peminjam privat, IMF akan selalu dapat mencegah krisis likuiditas hanya dengan memutar awalnya yang diberi pinjaman. Sehingga distorsi debitor moral hazard tidak dapat meningkat (Brandes dan Schule, 2008). Namun tidak selamanya institusi pemerintah dan lembaga keuangan ini mampu memberikan bantuan, karena dana yang mereka miliki terbatas. Denngan dana yang terbatas, lembaga keuangan pemberi pinjaman pun tetap mempertimbangkan pihak mana yang terbaik yang paling tepat diberi bantuan dan paling mungkin mampu mengembalikan pinjaman.
Pada krisis finansial yang terjadi di Amerika dan telah menjadi krisis global ini terlalu banyak pihak yang melakukan tidakna pengambilan resiko yang irrasional yang membutuhkan bantuan. Sedangkan lembaga keuangan sudah tidak mampu memberikan apa yang mereka minta. Ketimpangan ini kemudian makin memperparah krisis yang terjadi karena krisis Amerika dapat mempengaruhi krisis keuangan dunia.


Asymetries Information
Goodhart (2010) telah mengobservasi bahwa apa yang kita pikir menjadi partisi di dalam data lama dan nilai yang diekspektasikan. Manajer biasanya bereaksi berdasarkan kerugian aktual yang lalu daripada rata-rata kerugian yang diekspektasikan, lebih banyak daripada kerugian yang tidak diekspektasikan, bahkan saat distribusi pemerintah diketahui (Herring, 2010).
Isu informasi menampilkan kesempatan fundamental pada wewenang manajer yang harus melihat penyelesaian regulasi institusi finansial. Baik berdasrkan aktual data, maupun nilai yang diekspektasikan yang bisa dikaitkan dengan waktu krisis ketika pasar menjadi tidak likuid dan keputusan manajerial harus dibuat. Akuntasi bank secara tradisional menggabungkan akuntansi biaya historis akuntansi akrual dan akuntansi market-to-market yang dapat menggambarkan keuangan bank (Herring, 2010).
Ketidaksimetrisan informasi yang terjadi diantara kedua-belah pihak memicu adanya gap informasi. Salah satu pihak menyimpan informasinya sendiri, sedangkan pihak lain tidak memiliki informasi tersebut atau bahkan memiliki informasi lain yang tidak dimiliki pihak sebelumnya. Hal ini akan memicu terjadinya moral hazard berupa penyelewengan dan tindakan menguntungkan diri sendiri yang bahkan dapat merugikan pihak lain,

Krisis Ekonomi di Indonesia dan Solusinya Saat Ini
Moral hazard juga mengemuka dalam beberapa analisa penyebab krisis finansial Asia di akhir era 90-an. Dalam analisa ini, kelonggaran regulasi finansial domestik mengarahkan institusi keuangan Asia ke pengambilan resiko berlebihan. Lebih jauh lagi, Calomeris menyatakan (1998) ekspektasi bailout IMF untuk mengembangkan sektor keuangan dengan memberi investor asing insentif  untuk aktivitas finansial yang sangat beresiko.
Indonesia pernah juga mengalami krisis meski dalam konteks yang sedikit berbeda. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan kawasan Asia tenggara pada 1998. Agen-agen pengembang melakukan banyak utang luar negri yang tidak rasional jumlahnya, tanpa memperhatikan berbagai pertimbangan mengenai kemungkinan pengembalian. Saat ekonomi kolaps, banyak bank dilikuidasi karena tidak mampu membayar dana cadangannya di Bank Sentral Indonesia diperparah menurunnya kepercayaan nasabah dengan menarik semua uangnya di bank. Banyak bank jatuh dan perekonomian ambruk.
Di segala kekacauan krisis multidimensi itu, terdapat satu bank yang mampu bertahan dan tidak mengalami kekacauan sedikitpun. Bank itu adalah Bank Muamalat yang berbasis sistem syariah. Bank ini adalah bank pertama yang berbasis syariah di Indonesia.
Berkembangnya moral hazard di perbankan konvensional tidak terlepas dari system operasionalnya dimana resiko tidak terdistribusi secara proporsional pada pihak-pihak terkait. Resiko tidak tersebar secara merata antara pemilik dana, pengguna dana, serta pihak bank (Perbankan Syariah BI, 2008).
Sistem bunga yang ada di bank, memungkinkan setiap nasabah menerima bunga berdasarkan besar kecilnya tabungan yang mereka punya, namun tidak memperhatikan kondisi bank. Terlepas dari bank rugi ataupun untung, nasabah tetap menerima bunga sebanyak porsi yang mereka tanamkan di bank. Saat perekonomian kolaps, bank mengalami kerugian yang begitu besar dan akhirnya tidak mampu membayar semua kewajibannya pada nasabah termasuk bunga yang bisa saja begitu besar. Hal ini terjadi karena resiko hanya ditanggung satu pihak, yaitu bank, yang tidak terdistribusi oleh nasabah. Dalam kasus ini, pihak nasabah tetap menikmati bunganya diatas pihak bank menderita kerugian. Tentunya ketidakadilan inilah yang bisa mengakibatkan jatuhnya bank yang kemudian merugikan nasabah pula.
Sistem syariah, yang berbasis kepercayaan, mampu mengcover masalah tersebut.
Perbankan syariah menggunakan profit and loss sharing (bagi hasil). Secara teoritis, keberadaan bagi hasil mengimplikasi pada resiko serta peluang moral hazard sebab resiko menjadi tanggungan kedua belah pihak secara merata. Setiap bulan nasabah diberi bagi hasil yang merupakan pembagian hasil keuntungan (maupun) kerugian yang didapat bank. Sistem kepercayaan maksudnya, nasabah percaya akan kinerja bank untuk menjaga dan mengelola uangnya.
Mengenai untung ataupun rugi, akan dibagi hasilnya di akhir periode, sehingga kedua belah pihak mendapatkan hasil yang sama. Bank syariah dan nasabah dipaksa untuk menyusun suatu desain kontrak yang optimal bagi kedua belah pihak, sebab keduanya akan berbagi resiko maupun hasil (Perbankan Syariah BI, 2008).
Tentunya syariat Islam yang mendasari sistem syariah ini dengan berpegang teguh pada aturan-aturan yang ditetapkan supaya pegawai bank tidak melakukan penggelapan maupun penyelewengan. Dari sistem kepercayaan dan bagi hasil inilah, baik nasabah maupun bank tidak ada yang merugi akibat sistem yang tidak adil.
Pada krisis itu, bank syariah menjadi primadona, dimana semua bank mengalami kebangkrutan, bank syariah malah tidak terimbas sedikitpun. Sejak saat itu ekonomi syariah mulai dilirik, dan bank-bank konvensional pun membuat perencanaan pembukaan versi syariah dari banknya. Akhirnya tahun 2008, hampir setiap bank konvensional membuka cabang syariah.
Dari kasus bank syariah dan bank konvensional, dapat diambil sebuah hikmah, dimana sistem syariah mampu mengurangi kerugian yang diderita lembagai keuangan. Dengan sistem yang tepat, lembaga keuangan menjadi lebih tangguh. Moral hazard dapat diminimalkan, karena sistem yang ada mampu mengcover kasus dan mencegah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Disinilah peran penting peraturan yang dapat mengcover masalah dan menangani sistem, yaitu dibuat untuk dipatuhi yang menguntungkan dan menjamin kelangsungan semua pihak.

Kesimpulan
Dari berbagai kejadian diatas, maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1.      Krisis ekonomi mayoritas diawali dari pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, yang kadang-kadang bahkan diiringi euforia. Sektor riil dan makro fundamental tidak mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut. Dari sektor finansial yang kacau, kemudian berdampak pada sektor riil.
2.      Harapan berlebi terhadap pendapatan yang besar di masa mendatang akan menyebabkan kejatuhan. Ketika bank memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan, bank berpikir bahwa perusahaan tersebut akan mendapat keuntungan terus-menerus setiap tahun. Padahal belum tentu kondisinya demikian, masih banyak resiko yang bisa terjadi setiap saat yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut mengalami penurunan tingkat laba maupun kerugian. Bank yang tidak  mempertimbangkan resiko-resiko tertentu yang bisa saja meyebabkan perusahaan tersebut bangkrut atau bahkan bisa berdampak pada kelangsungan bank. Maka pentingnya rasionalitas dengan pertimbangan matang harus dilakukan untuk langkah kedepan.
3.      Hutang adalah penyebab krisis menurut data historis yang telah dibuktikan oleh krisis Amerika. Meminjam uang atau berhutang ke bank ataupun lembaga keuangan lainnya adalah baik, selama dengan pertimbangan matang dan jaminan yang memadai. Bila tidak memiliki jaminan dan dengan keputusan yang tidak rasional, maka hutang ini akan membahayakan perusahaan di masa depan.
4.      Setiap adanya lonjakan harga saham yang sangat tinggi, rawan terjadinya penggelembungan di berbagai sisi. Setelah peningkatan tajam harga saham, maka pasti diiringi koreksi yang juga dalam frekuensi yang besar. Fenomena ini sangat berbahaya apabila tidak diwaspadai lebih awal.

Saran
Moral Hazard terjadi karena tidak adanya peraturan yang dapat mencegah terjadinya moral hazard, yang rawan terjadi dalam kontrak yang sudah merambah  lembaga-lembaga keuangan. Fenomena antara bank konvensional dan bank syariah bisa dijadikan contoh, bahwa sistem syariah juga dapat dijadikan solusi dari segala kekacauan yang terjadi tidak hanya di industri perbankan namun juga di industri lain yang berhubungan dengan sektor finansial.
Sistem yang ada harus diubah, harus ada peraturan baru yang dibuat yang dapat mencover masalah-masalah yang ada dan mencegah terjadinya moral hazard. Perekonomian berbasis syariah terbukti mampu mereduksi masalah tersebut. Perekonomiuan berbasis syariah memungkinkan kedua belah pihak menerima resiko maupun keuntungan yang merata, sehingga penggelembungan, penyelewengan, maupun tindak moral hazard dapat ditekan.
Namun penelitian terbaru oleh Anto dan Desti (2008) yang dicantumkan dalam artikel BI (Perbankan Syariah BI, 2008) menunjukkan indikasi penyaluran dana pihak ketiga pada perbankan syariah menunjukkan adanya indikasi moral hazard yang lebih tinggi dibandingkan dengan perbankan konvensional. Meskipun perbedaan keduanya rendah, namun perhatian besar harus diberikan karena beberapa pertimbangan. Diantaranya adalah perbankan syariah di Indonesia adalah infant industry namun banyak diharapkan dapat memberikan berbagai solusi konstruktif untuk pembangunan ekonomi (Perbankan Syariah BI, 2008).
Akan sangat buruk bila perekonomian Indonesia yang saat ini membaik yang hingga keadaan berbalik menjadi pemberi dana untuk IMF (BBC, diakses 12 Juli, 2012) tidak menjaga konsistensinya. Karena dengan basis kepercayaan, bisa saja salah satu pihak mengkhianati tanpa sepengetahuan pihak lain. Perekonomian Indonesia yang mulai merambah optimisme pada basis syariah yang sudah dilirik dunia internasional memiliki apresiasi positif. Maka dari itu harus dijaga dengan melakukan tindakan yang bersih dan menekan berbagai penyelewengan.
Kini, tergantung pelaku-pelaku dalam keuangan syariah untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat dengan tidak melakukan moral hazard yang dapat menimbulkan kekacauan baru dan tetap berpegang pada sistem syariah terpercaya.


DAFTAR PUSTAKA


BBC UK. 2012. Indonesia beri pinjaman modal ke IMF. http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/07/120710_indonesia_imf.shtml diakses 12 Juli 2012. 10 Juli 2012 - 19:13 WIB

BI perbankan Syariah, 2008. Indikasi Moral Hazard : Perbankan Syariah Lebih tinggi dibanding perbankan Konvensional. Majalah Sharing. Edisi 21. Tahun 2008

Brandes1, J and Schu¨le, T. 2008. Devil’s kiss or guardian angel? Journal of Economics IMF’s assistance Vol. 94 (2008), No. 1, pp. 63–86

Calomeris, C. W. The IMF’s Imprudent Role as Lender of Last Resort. Cato Journal. Vol. 17 (Winter). Pp. 275-94

Forte, R dan Brandão A. 2007. A Moral Hazard Model of a Multinational Firm's Decision between Foreign Direct Investment and Multinational Subconntracting. Multinational Business Review; Fall 2007; 15, 3; pg. 79

Goodhart, C. A. E. (2010). The known, the unknown and the unknowable in financial risk management. Domestic banking problems. In F. Diebold, N. Doherty & R. Herring (Eds.)

Herring, R.J. 2010. How Financial Oversight Failed and What it May Portend for the Future of Regulation. International Atlantic Society. Springer.

Myerson R.B. 1982. Optimal Coordination Mechanism in Generalized Principal-Agents Problems. Journal of Mathematical Economics. Vol. 10. June, 1982, pp. 67-81
Prescott, E.S. 1998. Computing Moral Hazard Problems Using Dantzig-Wolfe Decomposition Algorithm. Working Paper 98-106. Richmond : Federal Reserve Bank of Richmond. June, 1998

___________. 1999. A primer on moral-hazard models. Economic Quarterly - Federal Reserve Bank of Richmond; Winter 1999; 85, 1. pg. 47


0 komentar:

Posting Komentar