1.
Latar Belakang
Kemampuan bersaing dalam pasar
hiperkompetisi global sangat dibutuhkan bagi manajer yang memilih strategi
diferensisasi untuk perusahaannya (Bartlett & Goshal, 1997). Persaingan di
dunia bisnis global sudah sangat ketat hingga disebut hiperkompetisi. Cara
untuk bertahan dalam persaingan adalah dengan menjalankan strategi yang tepat
dan cermat melihat peluang-peluang melintas batas negara. Manajer yang sukses
akan memposisikan dirinya dalam penggabungan kompetensi teknis, politis sosial,
organisasional dan kultural, dimana fenomena ini juga ditemukan pada ekspatriat
(Bartlett, 1986).
Untuk menembus pasar global, manajer
perlu menempatkan orang-orang terbaiknya, dimana orang-orang ini kadang harus
ditugaskan untuk pergi ke luar negri untuk menjalankan suatu tugas. Perusahaan
internasional merencanakan para eksekutif ekspatriatnya, yang jumlahnya makin
meningkat (Black and Gregersen, 1999). Sayangnya peningkatan jumlah permintaan
orang-orang yang dikirim ke luar negri ini tidak diimbangi dengan jumlah
suplainya (Selmer and Lam, 2003). Banyak perusahaan menyatakan bahwa menemukan
orang yang memiliki cukup kemampuan yang dibutuhkan perusahaan untuk
menjalankan tugas ke luar negri, dan hal ini adalah salah satu tantangan dalam
dunia manajemen internasional (Caligiuri & Cascio, 1998) dan situasi tidak
menguntungkan ini juga masih memunculkan kegagalan yang membahayakan (Franke
& Nicholson, 2002) seperti banyaknya jumlah ekspatriat yang gagal, dan
kembali ke negara asalnya lebih awal (Harzing & Pinnington, 2011) Kurangnya
informasi jadi tidak mengagetkan bila para ekspatriat menjadi tidak lama
tinggal dan kembali ke rumah lebih awal (Selmer & Lam, 2004).
Pemilihan manajer ekspatriat untuk
penugasan mengalami berbagai sejarah panjang (Fish, 1999). Identifikasi model
yang tepat untuk karakteristik personal dari kandidat yang dapat membantu
mengembangkan kesempatan manajer untuk ‘bertahan’ selama penugasan (Tung,
1981). Ekspatriat yang dikirim untuk penugasan internasional harus menjalankan
pekerjaannya untuk melaksanakan tugasnya, sehingga penyesuaian dengan atmosfer
‘asing’ bisa saja menjadi sangat krusial (Parker and McEvoy, 1993). Untuk
meningkatkan tingkat keberhasilan penugasan internasional, manajer dapat mempersiapkan
para kandidat untuk hidup dan bekerja di host country variabilitas global
membutuhkan ekspatriat yang fleksibel dan mapu mengadaptasi praktik manajerial
(Feldman & Bolino, 1999).
Memang tak bisa disangkal bahwa
penugasan internasional membutuhkan berbagai keahlian kandidat untuk mendukung
upaya tetap bertahan di negara lain. Beberapa studi bahkan mendukung pendekatan
soft skill yang telah berkembang menjadi beberapa kategori seperti ; global awareness, corporate strategy,
cultural empathy, cross-cultural team building, international negotiation
skill, ethical understanding of conducting business in foreign countries,
dan self confidence (Harvey &
Novicevic, 2001).
Di sisi lain, riset dilakukan pada
ekspatriat di Inggris dimana seorang ekspatriat ditemani setidaknya seorang
anggota keluarga. Survei lain juga membuktikan 60% ekspatriat setidaknya akan
ditemani seorang pasangan ke luar negri (Haslberger & Brewster, 2008).
Apakah itu pasangannya, suami/istrinya, bahkan 50% diantaranya membawa anak-anaknya.
Anak-anak ekspatriat inilah yang juga
ikut beradaptasi dengan lingkungan baru sekitarnya, dimana orang tuanya
ditugaskan (Selmer & Lam, 2004), padahal mereka tidak ikut bekerja dan
bertugas. Mereka ikut beraktivitas dengan lingkungan asing yang bukan negara
asalnya, belajar bahasa negara setempat, dan bergaul dengan orang-orang dimana
orang tuanya bertugas. Anak-anak ‘internasional’ ini disebut TCK yang
kepanjangannya adalah Third Culture Kids.
Saat mereka tumbuh besar, mereka
sangat toleran terhadap perbedaan dan keragaman budaya dan suku yang ada.
Karena pada masa kecilnya mereka sudah terbiasa akan hal-hal yang berkaitan
dengan pergaulan dengan orang asing yang notabene memiliki unsur-unsur budaya
yang beraneka ragam.
Anak-anak TCK inilah yang di masa mendatang
merupakan kandidat potensial dan stok calon ekspatriat yang ‘sudah siap pakai’
(Shelmer and Lam, 2004). Mereka kemudian tidak terpaku pada salah satu budaya
tertentu, dan mengembangkan budaya ketiga (Useem, 2001). Para TCK ini merupakan
bibit ekspatriat di masa depan yang ‘siap pakai’ dengan keunggulan kemampuan,
keahlian, dan pengalaman untuk penugasan internasional di masa mendatang.
Bahasan mengenai anak-anak para
ekspatriat ini belum banyak diteliti. Biasanya mereka hanya masuk dalam daftar
tambahan (Selmer & Lam, 2004) bagian kompensasi yang tidak boleh dilupakan
untuk para ekspatriat. Namun peran mereka untuk orang tau mereka, dan potensi
mereka di masa depan belum banyak diperdalam.
Tulisan ini merupakan gabungan antara
tiga jurnal yang berbeda, yang membahas mengenai anak-anak keluarga ekspatriat (Selmer
& Lam, 2004) dari perspektif manajemen internasional kini (Haslberger &
Brewster, 2008) dimana mereka merupakan bagian keluarga dari orang-orang yang
dipilih melalui seleksi oleh manajemen yang bersaing secara global dan mengirim
mereka untuk penugasan internasional (Harvey & Novicevic, 2001). Anak-anak
tersebut (TCK) hidup dan tumbuh dengan lingkungan asing yang bukan merupakan
lingkungan asli orang tua mereka, namun mereka juga merupakan bagian dari
perhatian manajemen karena mereka bagian dari keluarga ekspatriat yang dikirim
ke negara lain.
Riset Selmer & Lam, (2004) mencoba
meneliti potensi mereka di masa mendatang dengan mengamati persepsi mereka di
masa kini. Sehingga peluang suksesnya manajemen internasional bisa semakin
besar dengan menemukan semakin banyak kandidat untuk dijadikan ekspatriat
selanjutnya, termasuk anak-anak TCK ini.
Landasan Teori
1.1.1 Adolescence
Adolescence adalah masa dimana waktu
ketika anak-anak tumbuh berkembang dari masa kanak-kanak melewati periode
dimana jam biologis mereka pun berubah. Tubuh mereka berkembang secara fisik
dan begitu pula dengan psikis mereka. Mereka berada di masa peralihan dan mulai
masuk dalam kedewasaan. Ini adalah masa dimana terjadi perubahan mendalam
seorang indovidu yang melibatkan transformasi sulit dari anak-anak menuju
dewasa.
Masa peralihan ini terjadi pada umur
11 hingga 21 tahun, dan dibagi menjadi tiga periode (Connel et al., 1975) yaitu :
1) Early Adolescence
Seseorang di masa
ini akan belajar dan menemukan kecepatan dibandingkan sebelumnya, mengembangkan
kemampuan mereka untuk menemukan sesuatu dan alasan akan hal tersebut (Seifert
and Hoffnung, 2000)
2) Middle Adolescence
Mereka akan
mengembangkan pencarian kebebasan dan memulai menggali hati nurani mereka
(Keats, 1997)
3) Late Adolescence
Individu ini mulai
mengamankan identitasnya dan meningkatkan kebebasannya dan mengatasinya dengan
kemampuan mereka serta membuat keputusan. Mereka mampu untuk melihat lebih
dalam dan mampu mendukung kemampuan yang lebih besar dalam ekspresi, berbicara,
dan menunjukkan emosi yang lebih mapan (Terry, 1995)
Individu ini juga menunjukkan
penerimaan yang lebih besar terhadap institusi sosial dan norma kultural dan
mereka lebih perhatian terhadap peran masa depan mereka. Late adolenscents
merupakan orang yang mampu menempatkan tujuan mereka dan mengikutinya. Mereka
lebih sadar terhadap harkat dan martabat mereka dan meningkatkan self-esteem
mereka yang kemudian juga menghargai orang lain (Sebald, 1992)
1.1.2
Expatriate Children
Biasanya, anak-anak para ekspatriat
ini hanyalah dipandang sebagai dalam salah satu item yang tidak boleh dilupakan
dalam daftar (Selmer & Lam, 2004). Mereka masih belum banyak diteliti lebih
lanjut dan hanya sedikit penelitian yang mengamati anak-anak ‘internasional’
ini. Dimana mereka seharusnya tidak hanya menjadi penambah bagasi saat orang
tua mereka melintasi batas negara, namun perhatian yang lebih mendalam perlu
diberikan dalam segala aspak anak-anak ekspatriat ini (Stuart, 1992).
Pengalaman para anak ekspatriat
berinteraksi dengan kultur lain bisa saja dipengaruhi oleh lingkungan yang
berefek pada seluruh kehidupan mereka (Selmer & Lam, 2004).
1.1.3
TCK – Third Culture Kids
TCK atau third culture kids adalah anak-anak ekspatriat yang pernah hidup di
lebih dari satu negara dan telah mempelajari lebih dari satu budaya yang
berbeda (Useem, 2001). Mereka telah menyerap berbagai budaya dan norma perilaku
dan membangun referensi yang berbeda dari berbagai sumber (Selmer & Lam, 2004).
Istilah third-culture-kids telah
digunakan untuk mengga,barkan anak-anak yang menemani orang tua mereka ke
komunitas lain (Useem, 2001). Mereka digambarkan sebagai individu yang
menghabiskan tahun-tahun adolenscence mereka dalam budaya yang berbeda dengan kultur
yang dimiliki orang tua mereka, mengembangkan hubungan dengan semua pihak yang
ada dalam kultur tersebut dan tidak diklaim sebagai milik budaya tertentu
(Fail, 1996).
Para TCK ini lebih toleran terhadap
orang lain terutama pada orang tuanya. Ditemukan juga fakta bahwa pada anggota
keluarga ekspatriat akan saling
mengandalkan dan mendukung satu sama lain saat hidup di tempat baru.
Saling mengandalkan inilah yang membangun kepercayaan dan persahabatan antara
para TCK beserta orang tuanya (Wheeler, 1998).
Para TCK ini merasa nyaman dimanapun
mereka berada, namun di sisi lain mereka mungkin merasa bahwa rumah ada di
berbagai tempat (Schaetti, 1999), sehingga kadang mereka mengalami masalah bila
kembali ke rumah (Useem, 2001). Ini bisa saja disebabkan merena terbiasa
menjalani kehidupan dengan bepergian dan menemui orang baru. Saat ada di rumah,
mereka merasa harus tinggal dan menetap (Selmer & lam, 2004). Selama hidup
mereka hidup dui luar negri, para TCK ini mungkin saja mengharapkan berkeliling
dunia adalah cita-citanya di masa depan. Mereka akan mengembangkan gambaran
mental mengenai karir apa yang akan mereka pilih nantinya. Para TCK ini ingin
melanjutkan inspirasi pengalamannya dengan memilih karir mobilitas
internasional dan menghindari tinggal menetap di sebuah tempat (Gerner and
Perry, 2000).
Sebutan ‘cultural marginality’
dijelaskan sebagai memiliki pengalaman hidup di dua atau lebih kehidupan budaya
(Park, 1928). Dengan demikian, istilah constructive marginality bisa dijelaskan
sebagai “dynamic in-betweeness”. Selmer
dan Lam (2004) juga menyatakan bahwa anak-anak yang dulunya adalah TCK
merupakan bibit rekrutmen yang potensial dan menjanjikan untuk menjadi kandidat
ekspatriat di masa mendatang. Mereka adalah ‘stok siap pakai’ bagi manajer
ekpatriat di masa mendatang.
2.
Rumusan Masalah
Dari rumusan permasalahan dan teori diatas, muncul
pertanyaan penelitian ;
RQ1 : Apakah para
TCK memiliki persepsi yang berbeda ketika menjadi ‘internasional’ dibandingkan
rekannya di negara tempat orang tuanya bertugas?
RQ2 : Apakah para
TCK memiliki persepsi yang berbeda saat menjadi ‘internasional’ dibandingkan
rekannya di negara asal orang tuanya?
RQ3 : Apakah para
TCK memiliki preferensi dan konsekuensi mobilitas internasional yang berbeda
dibanding rekannya di negara tempat orang tuanya bertugas?
RQ4 : Apakah para
TCK memiliki preferensi dan konsekuensi mobilitas internasional yang berbeda
dibanding rekannya di negara asal orang tuanya?
2.1
Metodologi
2.1.1
Sampel
Data dikumpulkan dari tiga sampel :
1) Remaja ekspatriat Inggris yang hidup di Hong Kong
2) Remaja lokal Hong Kong yang hidup di Hong Kong
3) Remaja Inggris yang hidup di Inggris
Sampel didapat dari tempat-tempat basis remaja
seperti sekolah, acara olah raga, pusat perbelanjaan berdasarkan rujukan dari
anggota keluarga, teman dan kerabat. Termasuk generasi imigran yang pertama,
hanya dibutuhkan responden yang lahir di Inggris raya dan Hong Kong untuk
penelitian ini.
|
British
Expatriate
|
Local
HK
|
Local
British
|
Laki -
Laki
|
51
|
81 %
|
36
|
34%
|
26
|
29%
|
Perempuan
|
12
|
19%
|
70
|
66%
|
63
|
71%
|
Total
responden
|
63
|
103
|
88
|
Usia
Rata2 (th)
|
14,11
|
17,42
|
14,66
|
Stay
in HK
|
34,82 bulan
|
|
Stay
Abroad
|
28 orang
|
44%
|
ANOVA digunakan untuk analisa perbedaan ketiga
kategori responden, termasuk usia dan gender sejak ditemukan adanya perbedaan
karakteristik berdasarkan age dan jenis kelamin oleh Rotheram-Borus et al.,
(1998).
2.1.2 Instrumen
Instrumen yang digunakan diantaranya :
Persepsi
menjadi internasional
|
Item
|
32 item
|
Dari
|
Hayden et al., (2000)
|
Skala
|
1 “strongly agree” – 5 “strongly disagree”
|
Indikator
|
1) International Experience
2) Open Midedness towards Other
3) Respect and Tolerance of other
4) Flexibility
5) Own Cultural identity
|
International
Mobily Preferences
|
Item
|
34 item
|
Dari
|
Gerner et al., (1992)
|
Skala
|
1 “strongly disagree” – 5 “strongly agree”
|
Indikator
|
1) International Career Preference
2) International Travel Preferences
3) Family Relationship
4) Foreign Language Interest
5) Setting-down preference
|
3.
Pembahasan
Hasil
Lima indikator pengukur skala
“perception of being international” dan lima indikator yang diekstraksi dari
skala “international mobility preferences and consequences”. Hampir semua
variabel terinterkorelasi. Seperti yang diharapkan sebelumnya, ada korelasi
negatif antara memilih untuk menetap dan fleksibilitas. (r=-0,24; p<0,01), open
mindedness towards other culture (r=-0,17;
p<0,01), international experience
(r=-0,16; p<0,05) dan own cultural indentity (r=-0,12; p<0,05).
Perceptions
of being international
Perbedaan istilah perceptions of being
international dan tiga grup remaja yang dites melalui 5x3 analisis multivariat
kovarians (MANCOVA) dengan dua signifikansi perbedaan latar belakang variabel
umur dan gender sebagai kovariat. Sehingga dari hasil ini dipertegas RQ1 dan
RQ2.
International
mobility preferences and consequences
Sama dengan MANCOVA dengan umur dan
gender sebagai kovariat yang digunakan untuk tes uji beda dalam international
mobility prerferences and consequences. Hasil signifikan secara keseluruhan
kembali dedeteksi pada ketiga grup remaja (F=18,21;
p<0,001). ANCOVA mengindikasi
between group bahwa ada perbedaan signifikan untuk semua indikator variabel ini
yang membuktikan remaja ekspatriat Inggris
secara signifikan lebih besar dibanding dua rekannya yaitu remaja lokal
Hong Kong dan remaja lokal Inggris. Hasil yang didapat remaja ekspatriat
Inggris menunjukkan dukungan terhadap RQ3 dan RQ4.
4.
Kesimpulan
Kesimpulan
Ditemukan karakteristik grup yang
berbeda dari efek kontrol usia dan gender, dibandingkan dengan grup remaja
negara tujuan dan negara asal dalam persepsi mereka ‘menjadi internasional’
baik preferensi mobilitas dan konsekuensi. Penemuan ini mendukung riset
sebelumnya mengenai kebudayaan ketiga yang dikembangkan Useem (2001).
Sampel remaja ekspatriat Inggris
secara konsisten tampak menampilkan hal positif mengenai pengalaman pribadinya
beserta constructive marginality. Studi pada grup remaja ekspartiat menampilkan
persepsi pengalaman internasional yang lebih besar dibandingkan rekannya di negara
tujuan dan negara asal orang tua mereka. Mereka lebih terbuka terhadap kultur
lain, respek dan toleran pada yang lain, serta lebih fleksibel. Kunci seleksi
kriteria ekspatriat adalah keluarga (Harvey, 1985) dimana keluarga ekspatriat
sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari keluarga dan pasangannya (Tung,
1987).
Dengan demikian, para remaja
ekspatriat Inggris memang menunjukkan perbedaan dengan keduan rekannya. Mereka
bisa memunculkan budaya baru yang lebih menghargai orang lain. Mereka sangatlah
potensial untuk dijadikan ekspatriat bisnis di masa mendatang karena latar
belakangnya.
4.2
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya menggunakan
persepsi yang didapat dari respondennya mengenai bagaimana ‘menjadi
internasional’. Tidak diukurnya derajat ‘keinternasionalan’ meskipun bisa saja
ada korelasi mengetahui itu, dan bagaimana ‘to be’ internasional dan ‘being’
internasional.
Selain itu, hanya satu grup remaja
ekspatriat diamati di satu lokasi tunggal. Modernitas Hong Kong memang
menawarkan hidup yang nyaman untuk para ekspatriat yang bisa saja menimbulkan
bias pada hasil. Para remaja mungkin memiliki kecenderungan untuk bekajar dan
dipengaruhi pengalaman apabila lokasi ekspatriat yang fasilitiasnya minim dari
gaya hidup modern.
4.3 Saran
Dari penelitian ini, didapatkan bahwa
bila perusahaan ingin mencari kandidat ekspatriat untuk penugasan
internasional, maka calon potensial dapat difokuskan dari TCK saat melakukan
rekrutmen
Bagaimanapun, perusahaan internasional
akan mengidentifikasi para pelamar berdasarkan banyak sedikitnya keuntungan
yang bisa mereka dapatkan. Disinilah grup ekspatriat yang menawarkan organisasi
keamanan dan jaminan mengenai penugasan internasional, grup ini adalah TCK.
Yang memiliki karakteristik :
1)
Mereka lebih
sadar mengenai perbedaan budaya dan bagaimana mengatasinya
2)
Mereka lebih
banyak merasakan kehidupan berkarir dengan mobilitas internasional dengan
kecenderungan untuk mengurangi menetap di satu tempat tertentu
Ekspatriat dewasa, telah melewati masa
remaja mereka dengan kultur dan norma yang telah terbangun dari pelatihan dan
simulasi perkuliahan (Gudykunst et al.,
1996). Namun bukan berati orang-orang ini bukanlah pilihan kandidat yang
potensial.
Para TCK ini secara alami telah tumbuh
dan berkembang dengan mempelajari kehidupan nyata dari pengalaman lintas budaya
mereka (Selmer & Lam, 2004). TCK adalah bibit rekrutmen yang paling
menjanjikan untuk ekpatriat bisnis yang sukses. Mereka akan lebih mudah
beradaptasi untuk penugasan internasional dan akan lebih mudah dilatih. Mungkin
mereka akan butuh training tambahan untuk penugasan internasional di negara
dimana mereka belum pernah menetap. Mereka juga masih butuh tambahan training
di negara tempat dulunya mereka tinggal karena jeda waktu yang berlangsung
sejak mereka meninggalkan negara terkait. Bahkan para TCK ini bahkan bisa
dijadikan mentor bagi para ekspatriat dan inpatriat (Harvey & Buckley,
1997).
Sebagai contoh nyata, Presiden Amerika
Serikat saat ini ; Barack Obama. Presiden kulit hitam pertama negara adidaya
ini lahir dari lintas ras dan tumbuh di berbagai kultur. Ayahnya seorang Kenya
dan Ibunya seorang Amerika, yang menjadikannya seorang Afroamerika. Si Berry
kecil juga sempat tinggal di Indonesia. Ibunya menikah lagi dengan seorang
Indonesia dan kemudian pindah ke Hawaii. Hawaii adalah salah satu daerah di
Amerika yang sarat dengan kultur yang beragam karena berbagai orang di penjuru
dunia berkunjung kesana, sehingga kehidupan multibudaya adalah hal biasa
disana. Pengalaman hidup dalam berbagai budaya menjadikannya salah satu
Presiden Amerika paling toleran terhadap ras dan budaya lain. Dengan
menjabatnya Obama, warga Amerika kulit hitam yang dulunya terpinggirkan jadi
lebih terperhatikan. Dia juga lebih menghargai perbedaan budaya dan persamaan
hak kaum minoritas di Amerika.
Contoh lain bisa didapat dari Nirina
Zubir, selebritis Indonesia yang di masa kecilnya hidup di berbagai negara
karena pekerjaan ayahnya yang seorang diplomat. Dari kehidupan keluarganya,
Nirina kemudian berinteraksi dengan berbagai budaya yang memungkinkan dirinya
menguasai setidaknya menguasai lima bahasa asing, diantara bahasa-bahasa negara
sesuai tempat ayahnya bertugas. Misalnya bahasa Mandarin, Madagaskar, Inggris
(tentu saja) dan Prancis. Kemampuan ini membuatnya menjadi translator di
berbagai acara kenegaraan, disamping profesinya sebagai selebritis.
Kemampuan yang didapat dari pengalaman
ini tentu saja tidak dimiliki semua orang, sehingga yang dimiliki oleh
anak-anak ini merupakan suatu hal yang berharga yang bisa bermanfaat bagi dunia
bisnis di masa mendatang. Mereka bisa menjadi alternatif terbaik untuk kandidat
ekspatriat dalam penugasan internasional dan merupakan bibit rekrutmen yang
paling potensial dari kemampuan alami mereka, mengingat permintaan akan
kandidat ekspatriat sangat minim dibandingkan tingkat suplainya.
Keluarga ekspatriat sebelumnya
hanyalah dipandang sebagai salah satu item dalam daftar kompensasi yang tidak
boleh dilupakan oleh perusahaan untuk para ekspatriatnya. Keluarga ini sangat
mempengaruhi kinerja ekspatriat saat penugasannya. Namun dari penelitian ini
ditemukan bahwa anak-anak ekspatriat itu memiliki potensi tersembunyi yang
bermanfaat di masa mendatang. Hendaknya perusahaan tidak mengabaikan hal ini
dan mengambil peluang di dalamnya, misalnya dengan memprospek mereka di masa
mendatang atau membangun loyalitas mereka dari sekarang., supaya memudahkan
perekrutan ekspatriat di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.S. and Gregersen, H.B. (2000), “High impact training:
forging leaders for the global frontier”, Human Resource Management, Vol. 39
No. 2-3, pp. 173-84.
Caligiuri, P.M. and Cascio, W. (1998), “Can we send her there?
Maximizing the success of western women on global assignments”, Journal of
World Business, Vol. 33 No. 4, pp. 394-416.
Connell, W.F., Stroobant, R.E., Sinclair, K.E., Connell, R.W. and Rogers, K.W. (1975), 12
to 20: Studies of City Youth, Macarthur Press Pty Ltd, Sydney.
Fail, H. (1996), “Whatever becomes of international school
students?”, International Schools Journal, Vol. 15 No. 2, pp. 31-6.
Feldman, D.C. and Bolino, M.C. (1999), “The impact of on-site mentoring on
expatriate socialization: a structural equation modelling approach”,
International Journal of Human Resource Management, Vol. 10 No. 1, pp. 54-71.
Fish, A. (1999), ``Selecting managers for crossborder assignments:
building value into the process'', International Journal of Management Review,
Vol. 1 No. 4, pp. 461-83.
Franke, J. and Nicholson, N. (2002), “Who shall we send? Cultural
and other influences on the rating of selection criteria for expatriate
assignments”, International Journal of Cross-Cultural Management, Vol. 2 No. 1,
pp. 21-36.
Gerner, M.E. and Perry, F. (2000), “Gender differences in cultural acceptance
and career orientation among internationally mobile and non-international
mobile adolescents”, Schools Psychology Review, Vol. 29 No. 2, pp. 267-83.
Gudykunst, W.B., Guzley, R.M. and Hammer, M.R. (1996), “Designing
intercultural training”, in Landis, D. and Bahgat, R.S. (Eds), Handbook of
Intercultural Training, Sage Publications, Thousand Oaks, CA.
Harvey, M. (1985), “The executive family: an overlooked variable in
international assignments”, Columbia Journal of World Business, Vol. 20 No. 1,
pp. 84-92.
Harvey, M. and Buckley, M.R. (1997), “Managing inpatriates: building
global core competency”, Journal of World Business, Vol. 32 No. 1, pp. 35-52.
Harvey, M. and Novicevic, M.M., (2001), “Selecting Expatriates for
increasingly complex global assignments”, Career Development International,
Vol.2 No.2, pp.69-86
Harzing, A-W & Pinnington, A.H., (2011),
“International Human Resource Management” Third Edition. Sage Publications :
Washington DC
Haslberger, A. and Brewster,
C., (2008), “The Expatriate Family : An International Perspective”, Journal of
Managerial Psychology, Vol.23 No.3, 324-346
Hayden, M.C., Rancic, B.A. and Thompson, J.J. (2000), “Being
international: student and teacher perceptions from international schools”,
Oxford Review of Education, Vol. 26 No. 1, pp. 107-23.
Keats, D. (1997), Culture and the Child: A Guide for Professionals
in Child Care and Development, John Wiley & Sons, London.
Park, R.E. (1928), “Human migration and the marginal man”, American
Journal of Sociology, Vol. 33 No. 6, pp. 881-93.
Parker, B. and McEvoy, G.M. (1993), “Initial examination of a model
of intercultural adjustment”, International Journal of Intercultural Relations,
Vol. 17, pp. 355-79.
Rotheram-Borus, M.J., Lightfoot, M., Moraes, A., Dopkins, S. and
LaCour, J. (1998), “Development, ethnic, and gender differences in ethnic
identity among adolescents”, Journal of Adolescent Research, Vol. 13 No. 4, pp.
487-507.
Schaetti, B. (1999), “Phoenix
rising”, online version, available at: http://globalnomads.association.com
Sebald, H. (1992), Adolescence: A Social Psychological Analysis,
Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, NJ.
Selmer, J., Lam, H., (2004) “Third Culture Kids : Future Business
Expatriates?” Personnel Review, Vol.33 No.4 pp. 430-445
Stuart, K.D. (1992), “Teens play a role in moves overseas”,
Personnel Journal, Vol. 71 No. 3, pp. 71-8.
Tung, R.L. (1981), “Selection and training of personnel for overseas
assignments”, Columbia Journal of World Business, pp. 68-78.
Tung, R.L. (1987), “Expatriate assignments: enhancing success and
minimising failure”, Management Executive, Vol. 1 No. 2, pp. 117-25.
Useem, R.H. (2001), “TCK ‘Mother’ pens history of field”, NewsLinks:
The Newspaper of International School Services, available at: http://iss.edu/pages/kids.html
Wheeler, K.M. (1998), “Bilingualism and bilinguality: an exploration
of parental values and expectations in an American-sponsored overseas school”,
unpublished DEd thesis, Graduate School, The University of Minnesota, at
Minneapolis St Paul, Minneapolis, MN.
0 komentar:
Posting Komentar