TUGAS UAS
MAKRO
EKONOMI
Amerika, sebuah negara adidaya yang perekonomiannya
begitu kuat, akhirnya ambruk juga. Krisis finansial di Amerika yang hingga kini
merayap bangkit, belum sepenuhnya sembuh. Efek terpuruknya ekonomi negara Paman Sam itu berimbas
pada perekonomian dunia. Bursa Efek Indonesia sempat ditutup selama dua hari
karena kekhawatiran akan turut jatuhnya pasar saham Indonesia. Krisis ekonomi
pun merambat ke benua Eropa, hingga yang paling terpuruk adalah Yunani yang
bangkrut beserta segala macam konflik politik yang terjadi di negara seribu
dewa.
Dari lini domestik, keruntuhan ekonomi terbesar dunia
itu disebabkan berbagai macam hal, mulai dari sektor mikro maupun makro. Dari sektor masyarakatnya, pola hidup
mereka cenderung konsumtif, yang lebih sering menggunakan kredit. Saat terjadi
gagal bayar, hal ini berimbas pada perusahaan. Kredit tidak terjadi di
kehidupan sehari-hari, tapi juga terjadi di pembelian barang yang bersifat high involvement, seperti rumah tinggal.
Gambar 3. Ilustrasi Subprime Mortgage
Credit
Kredit inilah yang dijadikan sebab
awal utama yang mengakibatkan perekonomian negara itu runtuh. Masalah subprime
mortgage berupa pemberian kredit sektor perumahan yang kurang memperhatikan
kualitas kreditor, kemudian memicu terjadinya gagal bayar. Subprime mortgage
sebenarnya hanya mencakup lingkung yang tidak terlalu besar. Permasalahan
derivatif yang dilakukan di sektor uang yang lebih bermasalah.
Dari permasalahan kredit yang
melanda konsumen, di sektor perbankan juga mengalami masalah. Perbankan
melakukan berbagai permainan di pasar uang yang sangat beresiko. Perbankan dapat
memasuki sektor perdagangan atau ekspor impor asal dikemas dalam produk
derivatif yang berkaitan dengan keuangan perbankan, maka semua operasi
perbankan dianggap legal. Padahal tidak ada sektor yang tidak terkait dengan
uang. Akhirnya semua sektor bisa dimasuki perbankan. Sektor mana yang paling
menguntungkan maka perbankan akan lebih cenderung mengikuti arah.
Liberalisasi yang terjadi di
Amerika hanya memperhatikan para pemilik perbankan dan pemilik uang. Perbankan
membuat berbagai macam produk layanan di luar simpan dan pinjam, mulai dari commercial papers, mortgage-backed
securities, short selling, hedging, over the counter, credit default swaps,
equity swaps, interest swaps, margin trading, futures, forward, option,
asuransi perbankan dan lain sebagainya. Tentunya setiap bank memiliki produk
layanan yang berbeda-beda. Produk-produk baru yang berbagai tipe model
pelayanan ini disebut derivatif.
Terjadi penggelembungan dana
di pasar derivatif mencapai berkali-kali dari nilai riilnya. Aslinya hanya satu
bagian, empat bagian lainnya hanyalah angka penggelembungan para broker, dan
banker. Penggelembungan ini terjadi di berbagai sektor, karena benar-benar
menguntungkan, namun hanya untuk pihak-pihak tertentu. Aktivitas pencarian
keuntungan hingga taraf yang tidak rasional ini masih dianggap legal di Amerika
karena peraturan yang ada tidak melarangnya.
Liberalisasi Amerika
perdagangan tidak membatasi perbankan untuk fokus pada bidang perbankan saja.
Lemahnya aturan tentang kegiatan bisnis perbankan sekarang menjadi perhatian
utama pemerintah Amerika. Penggelembungan ini terjadi dimana-mana yang merambah
menjadi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para pelaku di pasar saham
di sektor finansial. Aksi penyimpangan yang terjadi di kegiatan finasial ini
dapat dikategorikan Moral Hazard.
Problem Moral Hazard
Menurut Prescott (2009),
sebagai contoh dalam problem moral hazard, agen bekerja pada proyek yang
diberikan oleh atasan atau bahkan pengembang. Banyaknya performa yang dilakukan
agen berefek pada probabilitas distribusi return proyek. Masalahnya adalah
atasan pengembang rtidak dapat memonitor kinerja agen. Sehingga upaya agen
menjadi informasi privat yang dia simpan sendiri, dimana hanya dia yang
mengetahuinya. Dalam beberapa model, jumlah upaya agen tidak terobservasi
karena sulit diukur. Apabila pengembang gagal untuk mengobservasi aksi dan
usaha agen, moral hazard akan sangat
mudah terjadi (Forte dan Brandão , 2007).
Model moral hazard secara
normal dikembangkan sehingga diketahui konflik antara agen dan pengembang
diantara aksi yang seharusnya diambil agen. Untuk contoh, agen mungkin akan
memilih aksi dengan upaya tinggi untuk meningkatkan ekspektasi output dari
proyek. Konflik internal ini bisa tidak menjadi moral hazard bila dikombinasi
dengan informasi privat dalam aksi agen (Myerson, 1982).
Ketidaksimetrisan informasi
yang terjadi diantara kedua-belah pihak memicu adanya gap informasi. Salah satu
pihak menyimpan informasinya sendiri, sedangkan pihak lain tidak memiliki
informasi tersebut atau bahkan memiliki informasi lain yang tidak dimiliki
pihak sebelumnya. Hal ini akan memicu terjadinya moral hazard berupa
penyelewengan dan tindakan menguntungkan diri sendiri yang bahkan dapat
merugikan pihak lain, apabila pihak yang memiliki informasi tidak membagi
informasi yang dimilikinya untuk dijadikan diskusi bersama merencanakan
strategi perusahaan kedepan.
Gambar. 2.
Ilustrasi Moral Hazard
Moral hazard, sebenarnya
merupakan perhatian jangka panjang dalam industri asuransi, dimana
peningkatannya telah dikenali sebagai konsekuensi regulasi perbankan dan
industri finansial lain (Prescott, 1999). Kasus ini terjadi dalam regulasi
bank, dimana aksi pengembalian resiko dari investasi bank, dan output
pengembalian bank. Analisis mengenai moral hazard memainkan peran penting dalam
teori regulasi bank dan regulasi finansial.
Moral hazard juga merupakan
problem dimana institusi finansial memiliki insentif untuk mengambil berlebih
meski tidak tercover asuransi karena institusinya merasa akan di-bail out
meskipun terjadi kegagalan (Prescott, 1999). Moral hazard meningkat karena
manajer dapat mengambil resiko tanpa membayar resiko premium yuang lebih besar
(Herring, 2010). Para pelaku ini mengambil berbagai resiko yang sudah berada
dalam taraf tidak rasional tanpa memperhatikan dampak akhirnya. Herring (2010),
juga menyatakan Pemikiran mengenai pemerintah akan selalu mampu menanggung
segala resiko yang dialami dengan memberikan bantuan maupun bail out. Padahal
kenyataannya tidak demikian.
Selama perilaku penggiringan
diantara peminjam privat, IMF akan selalu dapat mencegah krisis likuiditas
hanya dengan memutar awalnya yang diberi pinjaman. Sehingga distorsi debitor
moral hazard tidak dapat meningkat (Brandes dan Schule, 2008). Namun tidak
selamanya institusi pemerintah dan lembaga keuangan ini mampu memberikan
bantuan, karena dana yang mereka miliki terbatas. Denngan dana yang terbatas,
lembaga keuangan pemberi pinjaman pun tetap mempertimbangkan pihak mana yang
terbaik yang paling tepat diberi bantuan dan paling mungkin mampu mengembalikan
pinjaman.
Pada krisis finansial yang
terjadi di Amerika dan telah menjadi krisis global ini terlalu banyak pihak
yang melakukan tidakna pengambilan resiko yang irrasional yang membutuhkan
bantuan. Sedangkan lembaga keuangan sudah tidak mampu memberikan apa yang
mereka minta. Ketimpangan ini kemudian makin memperparah krisis yang terjadi
karena krisis Amerika dapat mempengaruhi krisis keuangan dunia.
Asymetries Information
Goodhart (2010) telah
mengobservasi bahwa apa yang kita pikir menjadi partisi di dalam data lama dan
nilai yang diekspektasikan. Manajer biasanya bereaksi berdasarkan kerugian
aktual yang lalu daripada rata-rata kerugian yang diekspektasikan, lebih banyak
daripada kerugian yang tidak diekspektasikan, bahkan saat distribusi pemerintah
diketahui (Herring, 2010).
Isu informasi menampilkan
kesempatan fundamental pada wewenang manajer yang harus melihat penyelesaian
regulasi institusi finansial. Baik berdasrkan aktual data, maupun nilai yang
diekspektasikan yang bisa dikaitkan dengan waktu krisis ketika pasar menjadi
tidak likuid dan keputusan manajerial harus dibuat. Akuntasi bank secara
tradisional menggabungkan akuntansi biaya historis akuntansi akrual dan
akuntansi market-to-market yang dapat menggambarkan keuangan bank (Herring,
2010).
Ketidaksimetrisan informasi
yang terjadi diantara kedua-belah pihak memicu adanya gap informasi. Salah satu
pihak menyimpan informasinya sendiri, sedangkan pihak lain tidak memiliki
informasi tersebut atau bahkan memiliki informasi lain yang tidak dimiliki
pihak sebelumnya. Hal ini akan memicu terjadinya moral hazard berupa
penyelewengan dan tindakan menguntungkan diri sendiri yang bahkan dapat
merugikan pihak lain,
Krisis Ekonomi di Indonesia dan Solusinya Saat Ini
Moral hazard juga
mengemuka dalam beberapa analisa penyebab krisis finansial Asia di akhir era
90-an. Dalam analisa ini, kelonggaran regulasi finansial domestik mengarahkan
institusi keuangan Asia ke pengambilan resiko berlebihan. Lebih jauh lagi,
Calomeris menyatakan (1998) ekspektasi bailout IMF untuk mengembangkan sektor
keuangan dengan memberi investor asing insentif
untuk aktivitas finansial yang sangat beresiko.
Indonesia pernah juga
mengalami krisis meski dalam konteks yang sedikit berbeda. Krisis ekonomi yang
melanda Indonesia dan kawasan Asia tenggara pada 1998. Agen-agen pengembang
melakukan banyak utang luar negri yang tidak rasional jumlahnya, tanpa
memperhatikan berbagai pertimbangan mengenai kemungkinan pengembalian. Saat
ekonomi kolaps, banyak bank dilikuidasi karena tidak mampu membayar dana
cadangannya di Bank Sentral Indonesia diperparah menurunnya kepercayaan nasabah
dengan menarik semua uangnya di bank. Banyak bank jatuh dan perekonomian ambruk.
Di segala kekacauan krisis
multidimensi itu, terdapat satu bank yang mampu bertahan dan tidak mengalami
kekacauan sedikitpun. Bank itu adalah Bank Muamalat yang berbasis sistem
syariah. Bank ini adalah bank pertama yang berbasis syariah di Indonesia.
Berkembangnya moral hazard di
perbankan konvensional tidak terlepas dari system operasionalnya dimana resiko
tidak terdistribusi secara proporsional pada pihak-pihak terkait. Resiko tidak
tersebar secara merata antara pemilik dana, pengguna dana, serta pihak bank
(Perbankan Syariah BI, 2008).
Sistem bunga yang ada di bank,
memungkinkan setiap nasabah menerima bunga berdasarkan besar kecilnya tabungan
yang mereka punya, namun tidak memperhatikan kondisi bank. Terlepas dari bank
rugi ataupun untung, nasabah tetap menerima bunga sebanyak porsi yang mereka
tanamkan di bank. Saat perekonomian kolaps, bank mengalami kerugian yang begitu
besar dan akhirnya tidak mampu membayar semua kewajibannya pada nasabah termasuk
bunga yang bisa saja begitu besar. Hal ini terjadi karena resiko hanya
ditanggung satu pihak, yaitu bank, yang tidak terdistribusi oleh nasabah. Dalam
kasus ini, pihak nasabah tetap menikmati bunganya diatas pihak bank menderita
kerugian. Tentunya ketidakadilan inilah yang bisa mengakibatkan jatuhnya bank
yang kemudian merugikan nasabah pula.
Sistem syariah, yang berbasis
kepercayaan, mampu mengcover masalah tersebut.
Perbankan syariah menggunakan
profit and loss sharing (bagi hasil). Secara teoritis, keberadaan bagi hasil
mengimplikasi pada resiko serta peluang moral hazard sebab resiko menjadi
tanggungan kedua belah pihak secara merata. Setiap bulan nasabah diberi bagi
hasil yang merupakan pembagian hasil keuntungan (maupun) kerugian yang didapat
bank. Sistem kepercayaan maksudnya, nasabah percaya akan kinerja bank untuk
menjaga dan mengelola uangnya.
Mengenai untung ataupun rugi,
akan dibagi hasilnya di akhir periode, sehingga kedua belah pihak mendapatkan
hasil yang sama. Bank syariah dan nasabah dipaksa untuk menyusun suatu desain
kontrak yang optimal bagi kedua belah pihak, sebab keduanya akan berbagi resiko
maupun hasil (Perbankan Syariah BI, 2008).
Tentunya syariat Islam yang
mendasari sistem syariah ini dengan berpegang teguh pada aturan-aturan yang
ditetapkan supaya pegawai bank tidak melakukan penggelapan maupun
penyelewengan. Dari sistem kepercayaan dan bagi hasil inilah, baik nasabah
maupun bank tidak ada yang merugi akibat sistem yang tidak adil.
Pada krisis itu, bank syariah
menjadi primadona, dimana semua bank mengalami kebangkrutan, bank syariah malah
tidak terimbas sedikitpun. Sejak saat itu ekonomi syariah mulai dilirik, dan
bank-bank konvensional pun membuat perencanaan pembukaan versi syariah dari
banknya. Akhirnya tahun 2008, hampir setiap bank konvensional membuka cabang
syariah.
Dari kasus bank syariah dan
bank konvensional, dapat diambil sebuah hikmah, dimana sistem syariah mampu
mengurangi kerugian yang diderita lembagai keuangan. Dengan sistem yang tepat,
lembaga keuangan menjadi lebih tangguh. Moral hazard dapat diminimalkan, karena
sistem yang ada mampu mengcover kasus dan mencegah penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi. Disinilah peran penting peraturan yang dapat mengcover masalah
dan menangani sistem, yaitu dibuat untuk dipatuhi yang menguntungkan dan
menjamin kelangsungan semua pihak.
Kesimpulan
Dari berbagai kejadian diatas,
maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan:
1.
Krisis
ekonomi mayoritas diawali dari pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, yang
kadang-kadang bahkan diiringi euforia. Sektor riil dan makro fundamental tidak
mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut. Dari sektor finansial yang kacau,
kemudian berdampak pada sektor riil.
2.
Harapan
berlebi terhadap pendapatan yang besar di
masa mendatang akan menyebabkan kejatuhan. Ketika bank memberikan pinjaman pada
perusahaan-perusahaan, bank berpikir bahwa perusahaan tersebut akan mendapat
keuntungan terus-menerus setiap tahun. Padahal belum tentu kondisinya demikian,
masih banyak resiko yang bisa terjadi setiap saat yang memungkinkan
perusahaan-perusahaan tersebut mengalami penurunan tingkat laba maupun
kerugian. Bank yang tidak
mempertimbangkan resiko-resiko tertentu yang bisa saja meyebabkan
perusahaan tersebut bangkrut atau bahkan bisa berdampak pada kelangsungan bank.
Maka pentingnya rasionalitas dengan pertimbangan matang harus dilakukan untuk
langkah kedepan.
3.
Hutang adalah penyebab krisis menurut data historis yang telah dibuktikan oleh
krisis Amerika. Meminjam uang atau berhutang ke bank ataupun lembaga keuangan
lainnya adalah baik, selama dengan pertimbangan matang dan jaminan yang
memadai. Bila tidak memiliki jaminan dan dengan keputusan yang tidak rasional,
maka hutang ini akan membahayakan perusahaan di masa depan.
4.
Setiap
adanya lonjakan harga saham yang sangat tinggi, rawan terjadinya
penggelembungan di berbagai sisi. Setelah peningkatan tajam harga saham, maka
pasti diiringi koreksi yang juga dalam frekuensi yang besar. Fenomena ini
sangat berbahaya apabila tidak diwaspadai lebih awal.
Saran
Moral Hazard terjadi karena
tidak adanya peraturan yang dapat mencegah terjadinya moral hazard, yang rawan
terjadi dalam kontrak yang sudah merambah lembaga-lembaga keuangan. Fenomena antara bank
konvensional dan bank syariah bisa dijadikan contoh, bahwa sistem syariah juga
dapat dijadikan solusi dari segala kekacauan yang terjadi tidak hanya di
industri perbankan namun juga di industri lain yang berhubungan dengan sektor
finansial.
Sistem yang ada harus diubah,
harus ada peraturan baru yang dibuat yang dapat mencover masalah-masalah yang
ada dan mencegah terjadinya moral hazard. Perekonomian berbasis syariah
terbukti mampu mereduksi masalah tersebut. Perekonomiuan berbasis syariah
memungkinkan kedua belah pihak menerima resiko maupun keuntungan yang merata,
sehingga penggelembungan, penyelewengan, maupun tindak moral hazard dapat
ditekan.
Namun penelitian terbaru oleh
Anto dan Desti (2008) yang dicantumkan dalam artikel BI (Perbankan Syariah BI,
2008) menunjukkan indikasi penyaluran dana pihak ketiga pada perbankan syariah
menunjukkan adanya indikasi moral hazard yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perbankan konvensional. Meskipun perbedaan keduanya rendah, namun perhatian
besar harus diberikan karena beberapa pertimbangan. Diantaranya adalah
perbankan syariah di Indonesia adalah infant industry namun banyak diharapkan
dapat memberikan berbagai solusi konstruktif untuk pembangunan ekonomi
(Perbankan Syariah BI, 2008).
Akan sangat buruk bila
perekonomian Indonesia yang saat ini membaik yang hingga keadaan berbalik
menjadi pemberi dana untuk IMF (BBC, diakses 12 Juli, 2012) tidak menjaga
konsistensinya. Karena dengan basis kepercayaan, bisa saja salah satu pihak
mengkhianati tanpa sepengetahuan pihak lain. Perekonomian Indonesia yang mulai
merambah optimisme pada basis syariah yang sudah dilirik dunia internasional
memiliki apresiasi positif. Maka dari itu harus dijaga dengan melakukan
tindakan yang bersih dan menekan berbagai penyelewengan.
Kini, tergantung pelaku-pelaku
dalam keuangan syariah untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat dengan tidak
melakukan moral hazard yang dapat menimbulkan kekacauan baru dan tetap
berpegang pada sistem syariah terpercaya.
DAFTAR PUSTAKA
BI
perbankan Syariah, 2008. Indikasi Moral
Hazard : Perbankan Syariah Lebih tinggi dibanding perbankan Konvensional.
Majalah Sharing. Edisi 21. Tahun 2008
Brandes1,
J and Schu¨le, T. 2008. Devil’s kiss or guardian angel?
Journal of Economics IMF’s assistance Vol. 94 (2008), No. 1, pp. 63–86
Calomeris, C. W. The IMF’s Imprudent
Role as Lender of Last Resort. Cato
Journal. Vol. 17 (Winter). Pp. 275-94
Forte, R dan Brandão A. 2007. A Moral Hazard Model of a
Multinational Firm's Decision between Foreign Direct Investment and
Multinational Subconntracting. Multinational Business Review; Fall 2007; 15, 3; pg.
79
Goodhart, C. A. E. (2010). The
known, the unknown and the unknowable in financial risk management. Domestic banking problems. In F.
Diebold, N. Doherty & R. Herring (Eds.)
Herring,
R.J. 2010. How Financial Oversight Failed and What it May Portend for the
Future of Regulation. International Atlantic Society. Springer.
Myerson R.B. 1982. Optimal
Coordination Mechanism in Generalized Principal-Agents Problems. Journal of Mathematical Economics. Vol.
10. June, 1982, pp. 67-81
Prescott, E.S.
1998. Computing Moral Hazard Problems Using Dantzig-Wolfe Decomposition
Algorithm. Working Paper 98-106. Richmond : Federal Reserve Bank of Richmond. June, 1998
___________. 1999. A primer
on moral-hazard models. Economic Quarterly - Federal Reserve Bank of Richmond; Winter 1999;
85, 1. pg. 47
0 komentar:
Posting Komentar